Sumber gambar : www.bigredmanministries.com |
Tetapi engkau, beritakanlah apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat: Laki-laki yang tua hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan. Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang. Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita. Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka, jangan membantah, jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita. (Titus 2:1-10)
Suatu kali, saya dan istri saya sedang membaca renungan pagi. Renungan itu mengajarkan tentang bagaimana seorang laki-laki dan perempuan (suami-istri) yang sudah tua mengajarkan kepada laki-laki dan perempuan (suami-istri) yang masih muda. Semua dimulai dari masa muda suami-istri ini yang harus belajar dan hidup dengan benar sebagai pasangan suami-istri, sehingga setelah tua ia dapat mengajarkannya kembali kepada suami-istri yang masih muda. Ayat yang kami baca adalah Titus 2:1-10.
Renungan saat itu sudah hampir selesai dan saya sedang membereskan buku renungan dan Alkitab. Kemudian istri saya bertanya,”Bagaimana dengan perempuan yang bercerai?”
Saya tertegun sesaat, lalu balik bertanya pada istri saya,”Kenapa dengan perempuan yang bercerai?”
Istri saya menjawab,”Perempuan yang bercerai, tapi setelah cerai ia hidup baik-baik, bekerja keras, mendidik anak-anaknya dengan baik, dan tidak menikah lagi, apakah dia juga bisa mengajarkannya kepada perempuan-perempuan muda?”
Istri saya juga mengambil contoh seorang tetanggga kami yang bercerai, namun sampai saat ini tidak menikah lagi, dia hidup bersama dengan anaknya. Dia juga tidak pernah terlihat menjalin hubungan dengan laki-laki. Kehidupannya kelihatan baik-baik saja.
Saya menjawab,”Kalau setelah bercerai, dia memang bisa benar-benar hidup dengan baik, hidup benar, bisa mengurus dirinya dan anak-anaknya dengan baik, dan yakin permasalahan dengan pasangannya dahulu sudah selesai, silakan saja ajarkan pada perempuan-perempuan muda. Alkitab juga mencatat ada perceraian yang diijinkan Tuhan.”
Istri saya membantah,”Tapi Tuhan membenci perceraian (Maleakhi 2:16), apa ia dia bisa mengajarkannya pada orang lain.”
Saya menjawab,”Kalau memang dia bisa menunjukkan hidupnya benar-benar baik setelah bercerai, silakan ajarkan kepada perempuan-perempuan muda untuk bercerai jika ia memiliki masalah dengan pernikahannya.”
Istri saya sedikit kesal,”Itu namanya kamu mengajarkan hal yang bertentangan dengan Alkitab. Tuhan tidak suka dengan perceraian, mengapa mengatakan perempuan yang bercerai boleh mengajarkan perceraian kepada perempuan lainnya.”
Istri saya sedikit emosi, dan saya pun mengatakan,”Kalau begitu, biar saya selesaikan dulu penjelasan saya, kamu jangan marah dulu.”
Istri saya masih sempat mengomel, tapi setelah sedikit tenang, saya mengatakan kepadanya,”PERCERAIAN TIDAK PERNAH MENJADI SOLUSI UNTUK MENGATASI MASALAH PERNIKAHAN.”
Mendengar kalimat ini istri saya terdiam, dan mendengarkan penjelasan saya selanjutnya.
Perceraian, tidak pernah menjadi solusi terakhir untuk mengatasi masalah dalam pernikahan. Banyak orang yang mengatakan jika masalah pernikahan tidak juga terselesaikan, maka satu-satunya jalan adalah bercerai.
Seorang suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga, bersikap kasar kepada istri dan anak-anaknya, tidak setia kepada istrinya dengan melakukan perselingkuhan. Banyak istri yang bertahan dengan terus berharap kepada Tuhan dan mencoba untuk menyadarkan suaminya. Setelah sekian lama, sang suami tetap tidak mengalami perubahan, dan istri semakin merasa disakiti, kehidupan rumah tangga sudah tidak harmonis lagi. Jika sudah seperti ini, apa lagi yang harus dipertahankan, semua sudah tidak ada gunanya. Antara suami dan istri terus timbul keributan. Lalu, bagaimana lagi caranya menyadarkan suami yang seperti ini? Bukankah lebih baik bercerai. Dengan bercerai, maka istri dapat melanjutkan hidupnya menjadi lebih baik, tidak lagi sakit hati terhadap suaminya, anak-anak juga tidak terganggu perkembangannya. Bercerai, itu adalah jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah pernikahan.
Bercerai, bukankah merupakan jalan keluar terbaik jika sudah tidak ada lagi solusi untuk menyelesaikan masalah di dalam rumah tangga? Tidak ada lagi kekerasan dalam rumah tangga, tidak ada lagi keributan, tidak ada lagi konflik. Jadi, apa masalahnya jika perceraian itu terjadi?
Satu kali saya dan istri pergi ke sebuah Gereja, ternyata di tempat tersebut istri saya bertemu dengan seorang wanita, teman lamanya. Teman istri saya ini adalah seorang yang kaya dan sukses dalam pekerjaannya. Cukup lama pembicaraan mereka, sementara saya menunggu sambil menjaga anak-anak. Selesai berbicara dengan temannya, istri saya menceritakan percakapan mereka. Ternyata teman istri saya ini sudah bercerai dari suaminya. Suaminya berselingkuh, padahal ia adalah istri yang setia. Istri saya juga mengenal suaminya, dan istri saya mengenal mereka pada waktu masih pacaran. Satu hal yang cukup miris saya dengar, istri teman saya ini seperti begitu menyimpan rasa sakit hati dan dendamnya terhadap mantan suaminya, padahal ia juga tidak lama lagi akan menikah kembali dengan seorang pria.
Setelah bercerai, masalah dalam pernikahan sesungguhnya tidak pernah selesai. Yang selesai dalam sebuah perceraian adalah KONFLIK. Konflik berhenti, keributan berhenti, pertikaian berhenti, namun MASALAH-nya masih ada. Itu sebabnya seseorang yang bercerai cenderung akan bercerai kembali dengan pasangannya. Itu karena ia tidak menyelesaikan masalah dalam keluarganya, melainkan hanya menghentikan pertikaiannya. Oleh sebab itu, ketika ia menikah kembali, masalah bisa kembali muncul, karena masalah ini terjadi dengan teman hidup. Meskipun ia menikah dengan orang yang berbeda, masalah ini bisa kembali muncul. Lalu ketika timbul keributan dan kembali tidak bisa selesai, maka solusinya adalah PERCERAIAN, begitu bukan?
Itu sebabnya, seorang yang bercerai, pertama kali bercerai, ia akan merasa sedih dan kecewa. Dipernikahan berikutnya ia berusaha menjadi lebih baik, namun karena masalah tetap ada, ia kemudian kembali bercerai. Semakin sering ia kawin-cerai, maka rasa sedih akan hilang dan rasa kecewa akan berkurang, sampai akhirnya ia terbiasa dan meremehkan sebuah pernikahan. Itu karena masalahnya dalam pernikahan TIDAK PERNAH DISELESAIKANNYA.
Kekristenan tidak mengijinkan perceraian, TUHAN sangat MEMBENCI PERCERAIAN (Maleakhi 2:16), namun Alkitab mencatat, ada perceraian yang diijinkan terjadi. Apakah ini menunjukkan Tuhan tidak konsisten? Orang Kristen yang bercerai, banyak yang menjadikan alasan-alasan ini untuk menghibur hatinya bahwa tidak apa-apa perceraian terjadi.
Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi aku berkata kepadamu:”Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah. (Matius 5:31-32)
Kata Yesus kepada mereka:”Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi aku berkata kepadamu:”Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.”(Matius 19:8-9)
Ayat didalam Injil Matius diatas, dijadikan salah satu alasan oleh orang Kristen yang bercerai, bahwa Tuhanpun mengijinkan terjadinya perceraian. Ayat yang dikutip biasanya Matius 5:32 dan Matius 19:9. Umumnya orang-orang akan melewatkan ayat yang sebelumnya. Pada ayat di atas, Yesus sedang menjelaskan bahwa PERCERAIAN terjadi karena kebebalan manusia, dan jika perceraian itu terjadi, maka suami harus memberikan surat cerai. Yesus tidak mengatakan secara khusus bahwa ada perceraian yang benar-benar diijinkan Tuhan, tapi sedang membahas PERZINAHAN dan KEBEBALAN manusia. Seorang suami yang tetap MEMAKSA untuk bercerai, maka pada ayat berikutnya Yesus mengajarkan tentang perzinahan yang mungkin terjadi setelah perceraian terjadi.
Jadi jika anda BEBAL dan MEMAKSA bercerai, maka anda akan menjadikan suami/istri anda beserta anda sendiri BERZINAH. Mengapa Yesus mengatakan PENGECUALIAN? Saya kutip kembali ayat Matius di atas dan saya tambahkan ayat sebelumnya :
Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. (Matius 5:27-30)
Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi aku berkata kepadamu:”Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah. (Matius 5:31-32)
Kata Yesus kepada mereka:”Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi aku berkata kepadamu:”Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.”(Matius 19:8-9)
Perhatikan, Yesus mengatakan seorang suami yang menceraikan isterinya KECUALI karena zinah, maka ketika isteri itu menikah kembali akan menjadikan isteri itu berzinah. Ayat ini seolah-olah menunjukkan Yesus mengijinkan perceraian untuk perempuan yang berzinah. Tapi anda perhatikan kembali, inti perkataan Yesus adalah tentang “PERCERAIAN CENDERUNG MENUJU PERZINAHAN”. Perzinahan adalah salah satu perbuatan yang sangat dibenci Tuhan. Yesus mengatakan kalimat diatas adalah untuk menunjukkan bahwa perceraian itu MENGARAH/MENUJU pada PERZINAHAN.
Suami BEBAL yang menceraikan isterinya, dan kemudian isterinya menikah lagi, akan menyebabkan isterinya tersebut BERZINAH. Yesus seperti memberi pengecualian bahwa perceraian boleh terjadi pada isteri yang BERZINAH, maksudnya adalah Ia sedang menunjukkan seorang perempuan yang BERZINAH akan tetap BERZINAH, baik itu ia diceraikan atau tidak oleh suaminya, dan PERZINAHAN adalah perbuatan yang juga SANGAT DIBENCI Tuhan. Ayat Matius 5:32 dan Matius 19:9 diatas bukan berbicara tentang adanya PERCERAIAN yang diijinkan Yesus, tapi Yesus justru berbicara tentang BAHAYANYA BERCERAI, karena bercerai bisa menimbulkan PERZINAHAN. Ketika seorang perempuan berzinah, maka tanpa diceraikan ia sudah berzinah. Tapi ketika seorang perempuan tidak melakukan perzinahan, namun diceraikan suaminya, maka perempuan itu disiapkan sebagai korban perzinahan dan akan berzinah ketika ia menikah lagi. Ini seperti sengaja menjerumuskan perempuan ke dalam perzinahan. Jika anda membaca terjemahan dalam bahasa Inggris, maka akan terlihat jelas :
“It has been said,'Anyone who divorces his wife must give her a certificate of divorce.'But I tell you that anyone who divorces his wife, except for sexual immorality, makes her the victim of adultery, and anyone who marries a divorced woman commits adultery. (Matthew 5:31-32)
“Furthermore it has been said, ‘Whoever divorces his wife, let him give her a certificate of divorce.’ But I say to you that whoever divorces his wife for any reason except sexual immorality causes her to commit adultery; and whoever marries a woman who is divorced commits adultery. (Matthew 5:31-32 ---- NKJV)
"It has been said, 'Anyone who divorces his wife must give her a certificate of divorce.'
32 But I tell you that anyone who divorces his wife, except for marital unfaithfulness, causes her to become an adulteress, and anyone who marries the divorced woman commits adultery.
(Matthew 5:31-32 ---- NIV)
Perempuan yang tidak berzinah, kemudian diceraikan, ia akan menjadi korban atau akan mengakibatkan ia menjadi berzinah. Ini sangat menjijikkan sekali. Inilah yang tidak diinginkan Yesus. Perzinahan adalah alasan Tuhan sangat membenci perceraian.
Tuhan sangat membenci perzinahan. Matius 5:27-30 adalah ayat awal sebelum Yesus berbicara tentang perceraian. Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa Tuhan sangat tidak suka dengan perzinahan. Perzinahan adalah sesuatu yang menjijikkan, bahkan ketika laki-laki “memandang” wanita dan “menginginkannya”, maka itu sudah merupakan perzinahan, dan layak mendapatkan hukuman yang begitu berat.
Dahulu, saya meyakini Matius 5:32 dan Matius 19:9 menunjukkan bahwa ada perceraian yang diijinkan Tuhan. Tapi setelah saya membaca kembali tentang ayat ini dan merenungkan tentang perceraian, saya menyadari Yesus tidak sedang mengajarkan perceraian yang diijinkan, tetapi justru Yesus sedang menjelaskan bahayanya perceraian yang bisa mengakibatkan perzinahan.
Jika anda menanyakan mengapa hanya laki-laki yang disebutkan bisa menceraikan isterinya, itu bukan menunjukkan bahwa isteri tidak bisa menceraikan suaminya, namun ketentuan yang berlaku pada masa itu adalah hanya laki-laki yang bisa menceraikan isterinya.
Bila memang anda BEBAL dan MEMAKSA bercerai, maka anda harus tetap hidup tanpa pernikahan atau menikah kembali dengan pasangan anda ini. Hidup tanpa pernikahan bagi orang yang sudah menikah, bukanlah hal yang mudah. Salah satu yang Tuhan ijinkan terjadi setelah anda menikah adalah berhubungan seks dengan pasangan anda. Anda tahu nikmatnya berhubungan seks, dan seks ini adalah salah satu anugerah Tuhan yang diberikan dan boleh dilakukan hanya untuk laki-laki dan perempuan yang menikah. Ketika bercerai, anda akan kehilangan anugerah ini, dan jika anda melakukan pernikahan lagi setelah bercerai, maka Tuhan akan menyebut anda BERZINAH. Itu sebabnya perceraian hanya mengarahkan kepada perzinahan. Pernikahan kembali hanya diijinkan Tuhan jika pasangan anda meninggal dunia.
Kepada orang-orang yang telah kawin aku--tidak, bukan aku, tetapi Tuhan--perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya. (1 Korintus 7:10-11)
Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan : kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera. Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu? (1 Korintus 7:12-16)
1 Korintus 7 secara khusus membahas tentang perkawinan. Ayat-ayat pada 1 Korintus 7 juga seperti menunjukkan adanya perceraian yang diijinkan Tuhan. Tapi jika anda perhatikan dengan teliti, 1 Korintus 7 juga tidak mengijinkan terjadinya perceraian.
Bagaimana pernikahan dengan pasangan yang tidak seiman seperti yang dimaksudkan Paulus di atas? Paulus jelas menunjukkan bahwa jika anda menikah dengan pasangan yang tidak seiman, dan pasangan yang tidak seiman itu ingin tetap bersama anda, maka anda tidak berhak menceraikannya. Sebagai orang Kristen, sama sekali tidak ada hak anda untuk menceraikan.
Tapi, yang mungkin terjadi adalah pasangan yang tidak seiman itu yang minta cerai. Orang yang berbeda iman dengan saya, tidak akan mau saya nilai berdasarkan iman saya. Orang yang tidak percaya Yesus, tidak akan mau saya nilai berdasarkan pengajaran Yesus. Orang yang tidak percaya Alkitab, tidak akan mau saya nilai dengan berdasarkan Alkitab. Itu sebabnya Paulus-pun tahu ia tidak bisa berbuat banyak ketika seorang yang tidak beriman meminta bercerai. Tapi ingat, bukan anda yang memaksa untuk minta di cerai, karena jika demikian andalah yang bersalah berdasarkan Alkitab.
Apa hubungannya perceraian dengan jodoh di tangan Tuhan? Tuhan tidak mengijinkan perceraian, karena memang Tuhan sudah menentukan jodoh kita masing-masing. Saat kita menikah, Tuhan sudah menetapkan jodoh kita. Tuhan tidak pernah salah menentukan jodoh kita. Pernikahan kita dipersatukan oleh Tuhan. Itu sebabnya, Tuhan tidak mengijinkan perceraian, dan perceraian hanya akan menimbulkan perzinahan.
Bersambung ke Bagian 3 : Menjadi Satu Daging, Karena Jodoh Memang di Tangan Tuhan (Bagian 3 -- End)
Artikel sebelumnya : Jodoh, di tangan Tuhan atau Manusia (Bagian 1)
http://judyhusin.blogspot.com/2015/08/jodoh-di-tangan-tuhan-atau-manusia.html
Bersambung ke Bagian 3 : Menjadi Satu Daging, Karena Jodoh Memang di Tangan Tuhan (Bagian 3 -- End)
Artikel sebelumnya : Jodoh, di tangan Tuhan atau Manusia (Bagian 1)
http://judyhusin.blogspot.com/2015/08/jodoh-di-tangan-tuhan-atau-manusia.html
Comments
Post a Comment