Skip to main content

Mengenang KKR 2003 oleh Pdt. DR Stephen Tong

Tahun 2003, STEMI (Stephen Tong Evangelistic Ministries International) yang di pimpin oleh Pdt. DR. Stephen Tong (selanjutnya akan saya sebut pak Tong) berencana akan mengadakan KKR di Stadion Utama Gelora Bung Karno untuk pertama kalinya. Selama rencana dan persiapan KKR saya mendengar banyak orang yang meragukan keberhasilan KKR ini, apalagi menggunakan Gelora Bung Karno.

Lapangan yang begitu luas, banyak yang kuatir tidak terisi penuh, tapi pak Tong tetap ngotot akan mengadakan KKR disana. Ketika banyak yang meragukan mengadakan KKR di Gelora Bung Karno, pak Tong tetap ngotot. Ketika banyak yang berharap agar KKR diadakan di ruang yang lebih kecil saja dan tertutup, pak Tong tetap ngotot. Bukankah orang-orang yang hadir juga sebagian besar adalah orang-orang kristen? Apa yang diharapkan menggunakan stadion terbuka dengan suara yang menggema keluar stadion? Berharap orang lain yang tidak diundang dapat mendengar suaraNya? Ide yang sedikit gila, apalagi banyak Gereja yang tidak suka dengan sosok pak Tong dan GRII, tapi salahkah idenya saat itu?

Saat itu saya turut mengambil bagian sebagai kolektan sekaligus juga bertugas mengatur jemaat yang akan pulang KKR menggunakan bis-bis yang disediakan. Saya akan memberikan sedikit kesaksian yang saya alami dan masih saya ingat saat KKR itu.

Pada hari H saya dan teman-teman kolektan lainnya datang lebih awal untuk persiapkan. Cukup mengejutkan juga buat saya ketika masuk ke dalam lapangan, ada anjing polisi yang cukup besar dan sejumlah polisi yang rupanya disiapkan untuk menjaga keamanan. Panggung untuk kotbah ditempatkan di dalam lapangan, yaitu pada lintasan untuk perlombaan lari, sementara jemaat akan duduk di tribun penonton.

Tema KKR pada saat itu adalah “Yesus Kristus Juru Selamat Dunia”. Pada saat KKR dimulai ternyata tidak semua tribun penonton terisi penuh oleh jemaat. Tribun di isi mulai dari bagian tengah yang berhadapan dengan panggung kotbah, lalu dilanjutkan dengan sisi kanan dan kiri. Karena tidak terisi penuh, maka ada bagian tribun di paling kanan dan kiri yang tidak terisi. Saat itu saya bertugas mengatur jemaat di tribun paling kiri yang bisa diisi.

Semua berjalan dengan lancar, pengaturan jemaat, kotbah dan kolekte berjalan dengan baik. Menjelang waktu selesai berkotbah saya dan teman-teman harus bersiap-siap untuk mengatur jemaat ke bis-bis antar jemput. Kami harus keluar duluan, sementara kotbah masih berjalan. Saat keluar dari Gelora Bung Karno menuju lokasi bis yang cukup jauh, suara kotbah pak Tong semakin tidak terdengar. Saat itulah saya merasa kesal, karena saya ingin mendengar kotbah sampai selesai, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa dan harus menjalankan tugas. Dalam hati saya mengatakan “Tuhan, saya ingin mendengarkan kotbah sampai selesai, tapi tidak bisa karena harus mengatur bis, saya ingin berada didalam, karena diluar tidak terdengar suara pak Tong.” Hari itu saya tidak bisa berbuat apa-apa, begitupun hari-hari berikutnya karena saya harus mengatur jemaat ke bis selama KKR, itu pikir saya.

Keesokan harinya, saat kotbah dimulai, saya merasa tidak enak pada kaki kiri saya. Semakin waktu berlalu, saya kaki saya semakin terasa sakit dan saya mulai berjalan pincang. Bersyukur saya masih dapat menjalankan tugas sebagai kolektan, tapi menjelang saya harus menuju ke bis, kaki saya semakin sakit. Akhirnya, saya terpaksa mengatakan kepada teman-teman saya bahwa saya tidak bisa membantu mengatur bis, karena memang saya kesulitan berjalan.

Saya tetap tinggal di dalam Gelora Bung Karno. Tapi dalam hati saya berkata “Terima kasih Tuhan karena saya diperbolehkan mendengar kotbah sampai habis pada hari ini”. Saya lalu mengambil posisi di tribun sebelah kiri jemaat yang tidak terisi agar tidak mengganggu siapapun. Cukup gelap tribun tersebut, tapi saya bisa duduk dengan tenang mendengar kotbah pak Tong sampai selesai. Meskipun kondisi kaki saya sakit, saya justru bersyukur kepada Tuhan karena mengabulkan permintaan saya kemarin untuk tetap dapat mendengarkan kotbah hingga selesai.

Di hari itu, pak Tong melakukan Altar Call. Jemaat yang tergerak diminta maju ke dalam lapangan tempat panggung kotbah pak Tong. Saya hanya menundukkan kepala dan berdoa. Tidak lama kemudian, saya mendengar ada suara tangisan. Tadinya saya mengira itu suara tangisan jemaat yang berada di tribun sebelah kanan saya yang memang merupakan tempat duduk jemaat. Saya terdiam mencoba mendengarkan dengan lebih jelas, ternyata suara tangisan itu berasal dari bagian sebelah kiri saya. Saya tahu tidak ada siapapun dibagian sebelah kiri saya. Akhirnya, saya membuka mata saya dan mencari arah suara tangisan itu.

Ternyata, tidak terlalu jauh dari bagian sebelah kiri saya ada dua orang polisi yang duduk disana. Saya tidak tahu kapan mereka mulai duduk, mungkin pada saat dimulainya Altar Call. Salah satu polisi itu menangis, dan yang satunya seperti mendampinginya. Polisi itu menangis pada saat Altar Call. Saya berpikir mungkin ia merasa terpanggil untuk maju ke depan, tapi ia sedang menjalankan tugas, sehingga ia hanya bisa duduk diam sambil menangis dan berharap Tuhan juga mendengar dan melihat dia. Saya tetap mengingat kejadian itu sampai hari ini.

Dihari pertama, saya tetap menjalankan tugas mengatur jemaat ke bis dengan baik, namun saya meminta kepada Tuhan agar dapat mengikuti kotbah sampai selesai, dan Tuhan kabulkan. Pada saat Altar Call, Tuhan menggerakkan seorang polisi untuk menerima panggilan namun ia tidak bisa maju ke depan karena sedang menjalankan tugas. Dua peristiwa pada saat KKR ini membuat saya sadar, Tuhan mendengar dan melihat keinginan setiap manusia yang rindu padaNya. Saya tidak menghampiri ataupun bertanya pada polisi tersebut mengapa ia menangis, tapi saya percaya polisi tersebut merasakan panggilan saat Altar Call, dan meskipun tidak maju ke depan, Tuhan tetap mendengar tangisan, pertobatan dan kerinduannya.

Uniknya, kaki saya yang sakit, sembuh pada saat tiba di rumah, namun hari berikutnya di acara KKR kembali sakit, sehingga saya bisa mendengarkan kotbah kembali sampai selesai. Saya tidak ingat berapa hari KKR tersebut diadakan, mungkin sekitar 5 hari, namun saya selalu mengingat kejadian unik mengenai kaki saya yang sakit ini kemudian peristiwa seorang polisi yang menangis tersebut.

Selang waktu berlalu, saya kadang berpikir apa yang saya lakukan mungkin salah, yaitu ingin lebih duduk diam mendengar kotbah daripada melakukan pelayanan, sementara polisi itu yang hanya bisa menangis lebih bertahan untuk menjalankan tugasnya daripada maju ke depan untuk mengikuti Altar Call. Tapi kisah Marta dan Maria menyadarkan saya.

“Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” Lukas 10: 39-42.

Maria lebih memilih untuk duduk diam mendengarkan perkataan Yesus, sementara Marta sibuk melayani Yesus. Salahkah Maria yang tidak membantu Marta untuk melayani Yesus? Tidak, karena Yesus tidak perlu dilayani sampai sesibuk itu. Lalu, salahkah Marta yang sibuk melayani Yesus? Tidak, Yesus tidak mempersalahkan Marta, hanya saja Maria memilih bagian yang terbaik.

Apakah saat itu saya memilih bagian yang terbaik? Ya, itu menurut pandangan saya, lalu apakah teman-teman saya yang sibuk melayani tidak memilih bagian yang terbaik? Saya tidak berpikir seperti itu. Tuhan menggerakkan setiap manusia dengan cara yang berbeda. Jika semua harus duduk diam mendengarkan kotbah pada saat itu, lalu siapa yang mengatur jalannya ibadah supaya lancar?

Bagaimana dengan polisi tersebut yang mendapat panggilan tapi tidak maju ke depan? Polisi tersebut telah memilih bagian terbaiknya dengan duduk diam di tribun dan dengan airmata yang mengalir untuk menjawab panggilan Tuhan.
Sia-siakah mengadakan KKR di Gelora Bung Karno yang tribunnya tidak terisi penuh? Tidak. Peristiwa pada Altar Call menyadarkan saya, sudah benar pak Tong mengadakan KKR di Gelora Bung Karno, sehingga tidak hanya anggota jemaat GRII ataupun yang diundang saja yang bisa mengenal Tuhan Yesus, tapi orang-orang lainpun yang saat itu berada disana juga bisa mendengar dan mengenal Tuhan Yesus, termasuk polisi-polisi yang menjaga keamanan sekalipun. Meskipun saat Altar Call banyak yang maju ke depan, namun hal yang paling menarik adalah ketika saya melihat polisi yang menangis ini. Ide gila pak Tong mengadakan KKR di stadion utama Gelora Bung Karno tidaklah sia-sia.

Saya tidak mengingat persis KKR yang sudah terjadi 10 tahun yang lalu ini, bahkan tahun pelaksanaan dan tema sempat saya tanyakan dahulu dengan seorang teman untuk mengingatnya kembali. Saya hanya mengingat peristiwa yang saya alami disana tentang kaki saya yang sakit dan polisi yang menangis. Saya juga baru teringat, inilah salah satu lagu yang dinyanyikan pada saat itu:

Siapa yang hibur hatiku
Siapa hapus airmataku
Siapa yang tanggung dosaku
Hanyalah Tuhan Yesus

Tahun-tahun berikutnya saya sudah tidak mengikuti lagi KKR yang diadakan oleh Pdt. DR Stephen Tong di Gelora Bung Karno, tapi saya mendengar masih ada orang-orang yang meragukan setiap pelaksanaannya. Kesaksian singkat saya di atas semoga bisa membantu kedepannya untuk menyadarkan bahwa kita kadang tidak tahu dengan jelas apa yang Tuhan hendak lakukan, kita hanya bisa melakukannya saja seturut gerakan yang Tuhan tanamkan dalam hati kita.

Sekilas Info


Kesaksian ini saya tulis ketika saya mendapatkan informasi mengenai Pdt. DR. Stephen Tong yang menunda operasi bypass jantung demi melaksanakan Konvensi Injil Nasional (KIN) dan KPIN (4-10 November 2013), dan setelah selesai operasi baru dilaksanakan. Tapi pak Tong yang seharusnya beristirahat sehabis operasi, sudah berencana mengadakan NREC untuk tanggal 24-27 Desember 2013.

Saya sempat berpikir, mengapa orang seperti pak Tong begitu ngotot untuk pelayanan? Apakah motivasinya? Benarkah untuk Tuhan? Apak dia tidak peduli dengan dirinya sendiri? Bukankah kalau ia sudah sehat, ia bisa lebih banyak melayani kembali? Akan bergunakan pelayanannya ini? Semua pertanyaan ini yang membawa saya terkenang kembali dengan peristiwa KKR 2003 di Gelora Bung Karno. Peristiwa di KKR 2003 belum pernah saya ceritakan pada siapapun selain istri saya. Saya menuliskan ini sebagai memori dan kenangan dari pelayanan Pdt. DR Stephen Tong yang ngotot dan diragukan banyak orang pada saat itu, namun ada peristiwa menarik yang saya alami disana.

Pak Tong di kenal selalu ngotot dan ingin mengerjakan banyak hal untuk Tuhan, bahkan terkesan tidak peduli dengan dirinya sendiri maupun keluarganya. Usianya sudah cukup lanjut, namun pelayanannya semakin banyak. Para pengikutnya banyak yang mengagumi semangatnya.

Saya tidak tahu, apakah ketika seorang Stephen Tong yang begitu ngotot terus melayani dan memberitakan Injil meskipun kesehatannya sedang menurun benar-benar bertujuan menjalankan amanat Tuhan untuk memberitakan Injil? Ataukah ia sedang menunjukkan ego-nya yang tinggi untuk menunjukkan diri bahwa ia adalah seorang pelayan Tuhan yang setia? Atau, apakah ia sedang memberikan contoh kepada generasi muda yang bermalas-malasan memberitakan Injil agar membangkitkan semangat bagi Kristus.

Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran seorang Stephen Tong, saya hanya bisa melihat buah yang dikerjakannya dan semangatnya untuk mengajarkan kebenaran dengan penuh tanggung jawab. Tidak ada yang sia-sia dari apa yang dikerjakannnya, termasuk semangat dan ide-ide gilanya untuk memberitakan Injil.

Pdt. DR Stephen Tong, saya mengaguminya sebagai pengajar yang luar biasa, sebagai seorang pendidik yang bertanggung jawab dan memiliki semangat yang tinggi. Sekalipun banyak pendeta-pendeta yang saya kagumi karena keberanian dan semangatnya berkotbah, namun sampai saat ini saya belum menemukan yang memiliki semangat setinggi Pdt. DR Stephen Tong.

Saya mengaguminya, namun tidak memujanya, bahkan menganggapnya tetap manusia biasa dan pernah melakukan kesalahan, karena dia yang mengajarkan kepada saya untuk kembali kepada Yesus Kristus sebagai yang paling layak dikagumi dan dipuja. “Back to the Bible” itulah prinsip yang diajarkan pak Tong yang terus melekat dalam diri saya sampai saat ini.

Sempat terpikir juga oleh saya, mungkin pak Tong menyadari waktunya semakin sedikit, itu sebabnya ia tidak mau menyia-nyiakannya bagi Tuhan.

Kiranya Tuhan memberkati Pdt. DR Stephen Tong dan Pelayanannya.

Comments