Berikut pernyataan Menaker Hanif
Dhakiri yang saya kutip dari detikcom
:
Jakarta
- Menaker Hanif Dhakiri memberi penjelasan soal iuran Jamsostek kini
menjadi jaminan hari tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan baru bisa diambil
penuh di usia 56 tahun. Menurut dia itu semua dilakukan untuk
kebaikan masyarakat.
“Nggak ada pemerintah yang merugikan masyarakat. Ini kan hanya soal cara ngatur. Kan ini karena orang itu maunya bisa diambil hari ini. Misalnya saya ambil analogi, THR harus dibayar 2 bulan sebelumnya. Ini analogi, tapi saya juga mikir kalau THR dibayar 2 bulan sebelumnya, kira-kira apa yang akan terjadi, habis toh. Nah itu loh,” jelas Hanif di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (2/7/2015).
Menurut Hanif, karena alasan itu, pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal terkait soal itu. Dalam konteks jaminan sosial ini harus dipastikan semua proses kerja itu terlindungi.
“Saat mereka kerja ada kecelakaan kerja, saat mereka tua ada jaminan hari tua, saat pensiun ada jaminan pensiun, begitu juga ada jaminan kematian. Ini peruntukannya beda-beda, mekanismenya juga beda-beda. Kalau mereka ada kena PHK kan ada mekanisme pesangon. Ini yang harus dipahami bersama, mungkin karena ini baru, jadi seolah ada yang gimana gitulah,” urai dia.
Hanif juga menegaskan, bila seorang pekerja berhenti kerja sebelum 10 tahun kerja, sebenarnya tetap harus membayar.
“Ya nggak bisa dong, dia harus iuran 10 tahun dulu. Ini kan tabungan wajib, ini sifatnya wajib, karena merupakan jaminan sosial yang sifatnya wajib yang fungsinya untuk perlindungan. Justru saat kita sudah tua. Kalau misalnya saat tua nanti nggak bisa apa-apa, siapa yang mau cover. Kan anda bicara hari ini. Ya kalau usaha Anda berhasil, kalau nggak, terus nanti gimana?” jelas dia.
Kemudian, Hanif melanjutkan, uang BPJS Ketenagakerjaan tidak seperti yang dulu bisa dicairkan, tetapi mulai 1 Juli hanya bisa dicairkan saat usia pekerja 56 tahun.
“Itu nanti masih bisa diambil. Jadi bisa ambil saat dia 56 tahun. Itu bedanya, tapi kalau dia sudah 10 tahun masih iuran, dia bisa ambil 10% untuk apa saja, 30% untuk perumahan. Tapi nggak boleh double nih. Kalau mau full saat 56 tahun,” tutup dia. (jor/dra)
“Nggak ada pemerintah yang merugikan masyarakat. Ini kan hanya soal cara ngatur. Kan ini karena orang itu maunya bisa diambil hari ini. Misalnya saya ambil analogi, THR harus dibayar 2 bulan sebelumnya. Ini analogi, tapi saya juga mikir kalau THR dibayar 2 bulan sebelumnya, kira-kira apa yang akan terjadi, habis toh. Nah itu loh,” jelas Hanif di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (2/7/2015).
Menurut Hanif, karena alasan itu, pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal terkait soal itu. Dalam konteks jaminan sosial ini harus dipastikan semua proses kerja itu terlindungi.
“Saat mereka kerja ada kecelakaan kerja, saat mereka tua ada jaminan hari tua, saat pensiun ada jaminan pensiun, begitu juga ada jaminan kematian. Ini peruntukannya beda-beda, mekanismenya juga beda-beda. Kalau mereka ada kena PHK kan ada mekanisme pesangon. Ini yang harus dipahami bersama, mungkin karena ini baru, jadi seolah ada yang gimana gitulah,” urai dia.
Hanif juga menegaskan, bila seorang pekerja berhenti kerja sebelum 10 tahun kerja, sebenarnya tetap harus membayar.
“Ya nggak bisa dong, dia harus iuran 10 tahun dulu. Ini kan tabungan wajib, ini sifatnya wajib, karena merupakan jaminan sosial yang sifatnya wajib yang fungsinya untuk perlindungan. Justru saat kita sudah tua. Kalau misalnya saat tua nanti nggak bisa apa-apa, siapa yang mau cover. Kan anda bicara hari ini. Ya kalau usaha Anda berhasil, kalau nggak, terus nanti gimana?” jelas dia.
Kemudian, Hanif melanjutkan, uang BPJS Ketenagakerjaan tidak seperti yang dulu bisa dicairkan, tetapi mulai 1 Juli hanya bisa dicairkan saat usia pekerja 56 tahun.
“Itu nanti masih bisa diambil. Jadi bisa ambil saat dia 56 tahun. Itu bedanya, tapi kalau dia sudah 10 tahun masih iuran, dia bisa ambil 10% untuk apa saja, 30% untuk perumahan. Tapi nggak boleh double nih. Kalau mau full saat 56 tahun,” tutup dia. (jor/dra)
Saya
kutip pernyataan Menaker Hanif Dhakiri lainnya dari detikcom
:
Jakarta
-Perubahan aturan soal pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) jadi
perbincangan di masyarakat. Dalam aturan baru tersebut, dana JHT baru
bisa cair 100% setelah peserta berumur 56 tahun.
Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dakhiri hari ini melaporkan, perubahan aturan baru tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta Pusat.
"Nah, program itu begini, karena fungsi dasar itu kan sebenarnya kan perlindungan bagi para pekerja kita yang tidak lagi produktif. Baik karena cacat tetap, baik karena meninggal dunia atau karena memasuki usia tua. itu fungsi dasar dari JHT itu," katanya ditemui di Istana Negara, Jakarta, Kamis (2/7/2015).
Sehingga, kata dia, jika ada pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak bisa mengandalkan JHT, tapi harus memanfaatkan pesangon.
"Jadi kalau misalnya ada orang kena PHK, dia tidak masuk skim JHT. Skimnya pasti di pesangon. Jadi memang beda-beda namanya jaminan sosial," ujarnya.
Saat ini ada beberapa program sosial yang ditujukan untuk perlindungan sosial dengan tujuan yang berbeda-beda. Nah, JHT ini kata Hanif, khusus untuk perlindungan di hari tua, bukan PHK atau yang lain-lain.
"Nah itu sebenarnya yang harus disosialisasikan. Saya nggak tahu masalahnya di mana, tapi mungkin lebih karena sosialisasi yang belum jalan. Kalau memang faktornya itu, ya barangkali mungkin nanti kita coba akan lapor ke Bapak Presiden dulu untuk bisa memberikan semacam masa transisi lah, untuk sosialisasi," ungkapnya.
Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dakhiri hari ini melaporkan, perubahan aturan baru tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta Pusat.
"Nah, program itu begini, karena fungsi dasar itu kan sebenarnya kan perlindungan bagi para pekerja kita yang tidak lagi produktif. Baik karena cacat tetap, baik karena meninggal dunia atau karena memasuki usia tua. itu fungsi dasar dari JHT itu," katanya ditemui di Istana Negara, Jakarta, Kamis (2/7/2015).
Sehingga, kata dia, jika ada pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak bisa mengandalkan JHT, tapi harus memanfaatkan pesangon.
"Jadi kalau misalnya ada orang kena PHK, dia tidak masuk skim JHT. Skimnya pasti di pesangon. Jadi memang beda-beda namanya jaminan sosial," ujarnya.
Saat ini ada beberapa program sosial yang ditujukan untuk perlindungan sosial dengan tujuan yang berbeda-beda. Nah, JHT ini kata Hanif, khusus untuk perlindungan di hari tua, bukan PHK atau yang lain-lain.
"Nah itu sebenarnya yang harus disosialisasikan. Saya nggak tahu masalahnya di mana, tapi mungkin lebih karena sosialisasi yang belum jalan. Kalau memang faktornya itu, ya barangkali mungkin nanti kita coba akan lapor ke Bapak Presiden dulu untuk bisa memberikan semacam masa transisi lah, untuk sosialisasi," ungkapnya.
Heboh masalah peraturan baru Jaminan
Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan terus berlanjut. Pada tanggal 29
Juni 2015, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan
Pemerintah (PP) No 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT.
Peraturan tersebut harus dijalankan pada tanggal 1 Juli 2015. Ironis,
hanya selang satu hari, peraturan yang baru disahkan sudah harus
dijalankan. Itu sebabnya tidak mengherankan kejadian ini jadi
menghebohkan, apalagi peraturannya yang dianggap merugikan masyarakat
yang terdaftar dalam BPJS ketenagakerjaan. Sama sekali tidak ada
sosialisasi sebelumnya. Kalaupun ada, itu hanya akal-akalan saja,
karena tidak mungkin melakukan sosialisasi hanya dalam semalam.
Seorang
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan tentang
sosialisasi :
"Nah
itu sebenarnya yang harus disosialisasikan. Saya nggak tahu
masalahnya di mana, tapi mungkin lebih karena sosialisasi yang belum
jalan. Kalau memang faktornya itu, ya barangkali mungkin nanti kita
coba akan lapor ke Bapak Presiden dulu untuk bisa memberikan semacam
masa transisi lah, untuk sosialisasi," ungkapnya.
Saya
tidak tahu apakah Menaker Hanif Dhakiri sudah sempat berpikir atau
belum mengenai masalah sosialisasi ini. Tidak usah dikatakan “mungkin
lebih karena sosialisasi yang belum jalan”,
karena memang tidak mungkin dijalankan sosialisasi dalam waktu
semalam.
Banyak
yang merasa dan menganggap peraturan baru BPJS ketenagakerjaan
merugikan masyarakat. Bagi masyarakat yang berhenti bekerja dan ingin
membuat usaha sendiri, sudah membuat perhitungan mengambil salah satu
sumber modalnya melalui dana BPJS ini. Peraturan yang lama Dana BPJS
Ketenagakerjaan bisa di cairkan dalam jangka waktu 5 tahun 1 bulan
keanggotaan. Sayangnya karena tidak tahu mengenai kemunculan
peraturan baru yang tiba-tiba ini, banyak yang merasa terjebak karena
tidak bisa mengambil dananya dan harus menunggu usia 56 tahun. Bagi
mereka dan saya sendiri, uang yang disetorkan setiap bulannya adalah
uang kami pribadi, hasil keringat kami sendiri. Kami dengan rela
mempercayakan menyimpannya kepada pemerintah dengan percaya bahwa
setelah setidaknya 5 tahun 1 bulan bisa dicairkan seluruhnya, tapi
mengapa ketika kami membutuhkannya sesuai dengan peraturan yang sudah
ditetapkan sebelumnya, tiba-tiba dana tersebut tidak bisa kami tarik
dengan alasan peraturan baru yang tanpa sosialisasi dan tanpa masa
transisi.
Selain
tanpa sosialisasi dan masa transisi, peraturan yang merugikan adalah
pencairan yang hanya sebesar 10 persen setelah terdaftar keanggotaan
selama 10 tahun, dan maksimal 30 persen untuk pembiayaan rumah.
Sedangkan jika ingin mencairkan secara penuh maka harus menunggu usia
56 tahun.
“Saat
mereka kerja ada kecelakaan kerja, saat mereka tua ada jaminan hari
tua, saat pensiun ada jaminan pensiun, begitu juga ada jaminan
kematian. Ini peruntukannya beda-beda, mekanismenya juga beda-beda.
Kalau mereka ada kena PHK kan ada mekanisme pesangon. Ini yang harus
dipahami bersama, mungkin karena ini baru, jadi seolah ada yang
gimana gitulah,” urai dia.
Salah
satu alasan konyol yang dikemukakan oleh Menaker adalah masalah
mereka yang di PHK. Menaker selalu memberikan pernyataan tentang PHK
alias di pecat, yang mendapatkan pesangon. Menaker sama sekali tidak
menyatakan tentang karyawan kontrak yang habis masa kontraknya dan
tidak diperpanjang lagi atau orang-orang yang berhenti bekerja
(mungkin saya yang belum mendapatkan informasinya). Okelah saya
setuju dengan pernyataan Menaker Hanif Dhakiri tentang “Saat
mereka kerja ada kecelakaan kerja, saat mereka tua ada jaminan hari
tua, saat pensiun ada jaminan pensiun, begitu juga ada jaminan
kematian. Ini peruntukannya beda-beda, mekanismenya juga beda-beda.”,
tapi tentang mereka yang hanya karyawan kontrak dan tidak
diperpanjang kontraknya, darimana mereka mendapatkan pesangon. Apakah
seorang Menaker tidak menyadari dan tidak mengetahui tentang
peraturan ketenagakerjaan? Karyawan yang habis masa kontrak tidak
akan mendapatkan apa-apa atau hanya mendapatkan kecil sekali dari
perusahaan tempat ia bekerja.
Tidak
sadarkah Menaker dan pemerintah, bahwa yang dipecat sekalipun, banyak perusahaan yang
memaksa karyawan yang akan dipecatnya untuk membuat surat pengunduran
diri, karena perusahaan tidak mau membayar pesangon. Jangan
mempersalahkan karyawan yang tidak berani menuntut perusahaannya,
karena mereka tidak mengerti hukum, bahkan tidak tahu peraturan
ketenagakerjaan, tidak tahu hak-haknya. Apakah Menaker tahu, banyak
perusahaan yang tidak memberikan peraturan tentang hak-hak tenaga
kerja kepada karyawannya. Biasanya orang yang mencari kerja hanya
ingin mendapatkan pekerjaan agar bisa hidup dengan layak, itu
sebabnya mereka hanya berharap di terima dahulu bekerja tanpa
memikirkan peraturannya, kecuali mereka yang sudah berpengalaman
kerja.
Hal
konyol lainnya dari pernyataan Menaker Hanif Dhakiri adalah :
Hanif
juga menegaskan, bila seorang pekerja berhenti kerja sebelum 10 tahun
kerja, sebenarnya tetap harus membayar.
“Ya nggak bisa dong, dia harus iuran 10 tahun dulu. Ini kan tabungan wajib, ini sifatnya wajib, karena merupakan jaminan sosial yang sifatnya wajib yang fungsinya untuk perlindungan. Justru saat kita sudah tua. Kalau misalnya saat tua nanti nggak bisa apa-apa, siapa yang mau cover. Kan anda bicara hari ini. Ya kalau usaha Anda berhasil, kalau nggak, terus nanti gimana?” jelas dia.
“Ya nggak bisa dong, dia harus iuran 10 tahun dulu. Ini kan tabungan wajib, ini sifatnya wajib, karena merupakan jaminan sosial yang sifatnya wajib yang fungsinya untuk perlindungan. Justru saat kita sudah tua. Kalau misalnya saat tua nanti nggak bisa apa-apa, siapa yang mau cover. Kan anda bicara hari ini. Ya kalau usaha Anda berhasil, kalau nggak, terus nanti gimana?” jelas dia.
Jika
anda sudah berhenti kerja atau di pecat, maka anda tetap harus
membayar iuran BPJS anda sampai masa 10 tahun kerja karena ini
sifatnya wajib. Saya tidak tahu apa yang ada dipikiran Menaker,
apakah orang yang sudah tidak bekerja lagi harus dipaksa terus
membayar iuran. Kalau ia pindah kerja, itu tidak ada masalah, lalu
bagaimana dengan mereka yang tidak bekerja atau tidak mendapatkan
pekerjaan lagi? Harus dipaksa juga? Apakah alasan mendapatkan
pesangon akan digunakan lagi oleh Menaker? “Dia kan dapat pesangon
dari tempat kerjanya pada waktu di PHK, uang itu bisa dipakai untuk
membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan sampai masa 10 tahun”, mungkin
seperti ini pernyataan Menaker yang berikutnya nanti.
Seorang
karyawan kontrak, umumnya bergaji lebih kecil daripada karyawan
tetap. Baru bekerja 2 tahun jatuh sakit dan tidak dapat bekerja
dengan baik lagi, lalu karyawan itu dipecat dan mendapatkan pesangon.
Berapa besar pesangonnya? Saya tidak tahu, tapi pasti kecil. Dari
pesangon itu ia mencoba melanjutkan hidupnya. Pesangonnya kecil dan
ia harus berhemat, tapi sayangnya ia tetap diwajibkan membayar iuran
BPJS. Dahulu pembayaran iuran BPJS hanya mengambil sebagian kecil
dari gajinya karena sebagian lagi di tanggung perusahaan, tapi
sekarang ia harus membayar penuh semuanya seusai gaji terakhirnya.
Entahlah, saya jadi malas menjelaskan kelanjutan kisahnya, silakan
Menaker berpikir sendiri. Bukankah pembayaran iuran BPJS di hitung
dari gaji, jika sudah tidak bergaji, darimana cara berhitungnya Bapak
Menaker?
Pemerintah
umumnya memaksakan peraturan yang sudah dibuatnya dengan alasan untuk
rakyat, tapi sama sekali tidak peduli dengan rakyatnya. Anggaplah
rakyat terpaksa mengikuti aturan pencairan secara penuh pada usia 56
tahun.
Karyawan
yang saya ceritakan di atas baru 2 tahun bekerja sudah dipecat dan
tidak bisa bekerja lagi. Ia tetap mengikuti aturan, yaitu pada usia
56 tahun akan mencairkan dana miliknya secara penuh. Salah satu
syarat pencairan adalah menggunakan Surat Keterangan Berhenti
Bekerja. Karyawan ini sudah memiliki surat ini dan ia tahu harus
menyimpannya sampai usia 56 tahun. Sayangnya, di usianya yang ke 54
tahun, ia mengalami musibah kebanjiran. Surat Keterangan Kerjanya
menjadi rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Karyawan ini bermaksud
untuk meminta kembali surat pengunduran dirinya ke perusahaan
tempatnya bekerja bertahun-tahun yang lalu. Sesampainya disana,
perusahaan ini sudah banyak berubah, semuanya sudah berisi
orang-orang baru yang masih muda, tidak ada lagi yang mengenalinya,
bahkan ia di curigai, meskipun demikian, perusahaan ini mencoba
membantu. Tapi sayangnya lagi, data karyawan yang sudah lebih dari 15
tahun tidak bekerja sudah dihapus, karena dianggap tidak diperlukan
lagi. Bagaimana nasib uang BPJS milik karyawan ini?
Apakah
Menaker dan para pembuat PP tentang BPJS memikirkan hal ini? Adakah
mekanisme lain untuk pencairan BPJS Ketenagakerjaan. Bagaimana jika
Surat Keterangan Berhenti Bekerja yang merupakan salah satu syarat
yang diharuskan, setelah disimpan sekian tahun menjadi rusak atau
hancur karena musibah yang terjadi. Apakah tanpa Surat Keterangan
Berhenti Bekerja, menjadi sebuah keharusan? Jika KTP hilang, itu
masih dengan mudah diganti. Jika Surat Keterangan Berhenti Bekerja
hilang, sementara perusahaan sudah menghapus data karyawan yang telah
berhenti kerja sekian tahun, atau perusahaan tersebut bangkrut dan
sudah tutup, bagaimana dengan nasib karyawan ini? Apakah Menaker
memikirkan hal ini?
Indonesia
adalah negara yang banyak diisi oleh orang-orang yang senang
mempersulit birokrasi, birokrasi baru bisa lancar jika ada uang.
Perusahaan pemerintah adalah perusahaan dengan birokrasi yang paling
senang memperumit masalah. Saya tidak yakin, jika kasus di atas
terjadi, akan bisa diselesaikan, yang ada, karyawan malang tersebut
hanya bisa gigit jari saja. Saya tahu, saat ini sudah banyak
perbaikan birokrasi dari perusahaan-perusahaan pemerintah, namun itu
belum sepenuhnya berjalan, masih banyak perusahaan pemerintah
mempersulit rakyat kecil, terutama mereka yang tidak mengerti apa-apa
tentang hukum.
UPDATE :
Respon dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Bapak Muhammada Hanif Dhakiri atas Petisi yang diajukan oleh Gilang Mahardika melalui situs Change.org
4 Jul 2015 — Kementerian Ketenagakerjaan mengucapkan terima kasih atas segala masukan, keluhan, kritik dan harapan. Semua input itu membuat Pemerintah wajib memikirkan solusi terbaik yang bisa meredakan kegelisahan berbagai pihak, meskipun tentu tidak akan sanggup memuaskan semua.
Pertama-tama, dan yang terpenting adalah bahwa dalam menyusun kebijakan Pemerintah tidak boleh melanggar hukum. Prinsip ini absolut. Hukum/UU boleh diubah, dikurangi, ditambah, namun pada saat masih berlaku, Pemerintah terikat dan diikat olehnya.
Aturan yang memerintahkan agar Jaminan Hari Tua baru dapat diambil setelah 10 tahun mengiur (membayar iuran) adalah amanat UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN, Pasal 37 ayat 3. Jika PP (Peraturan Pemerintah) sepenuhnya disusun oleh jajaran lintas kementerian, maka UU merupakan produk politik legislatif di masa itu. Sehingga, frasa "dapat diberikan sebagian setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun" di situ adalah sesuatu yang mengikat kami untuk dibunyikan di dalam PP dan dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan pasca 1 Juli 2015.
Sungguh sangat manusiawi rekan-rekan yang ingin mengambil tabungan JHT-nya. Baik untuk daftar sekolah anak, buka warung, modal usaha, biaya nikah atau sekedar jadi tambahan menjelang lebaran untuk menyenangkan keluarga. Karenanya, titik tengah harus dicari, keseimbangan harus ditemukan. Bagaimana mengerti kesulitan dan harapan rakyat, terutama yang bergaji pas-pasan, namun di saat yang sama, tetap dalam rel hukum.
Di saat yang sama perlu dipahami, Pemerintah juga berupaya menjalankan apa yang telah menjadi hukum positif, serta menegakkan cita-cita pembangunan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang kuat, profesional dan akuntabel, yang pada gilirannya akan mempercepat perwujudan kesejahteraan rakyat dan perlindungan sosial para pekerja.
Dari sudut pandang pembangunan sistem jaminan sosial nasional (SJSN), program JHT memang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja saat mereka tidak lagi produktif, menghadapi masa tua. JHT memang tabungan, tetapi bukan tabungan biasa. JHT adalah tabungan untuk masa tua, dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan di masa tua.
Sekali lagi terima kasih atas kritik, saran, masukan dan harapannya terkait isu JHT ini. Pemerintah mendengarkan, menyerap dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, bahwa ada keadaan-keadaan tertentu yang menjeda kita dari menerapkan sistem jaminan sosial nasional secara komprehensif, khususnya program JHT. Suatu keadaan yang "memaksa" sebagian dari masyarakat kita untuk lebih berpikir tentang hari ini dan besok ketimbang memikirkan masa tua.
Oleh karena itulah maka Bapak Presiden dengan cepat merespon dan memerintahkan saya selaku Menteri Ketenagakerjaan bersama-sama dengan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan untuk memberikan pengecualian kepada para pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja agar mereka dapat mencairkan dana JHT-nya sesegera mungkin, tanpa harus menunggu masa kepesertaan 10 tahun.
Dengan arahan Bapak Presiden tersebut, maka revisi PP 46/2015 tentang JHT harus dilakukan. Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan dan seluruh instansi pemerintah terkait akan segera menindaklanjuti arahan Bapak Presiden dengan melakukan revisi dan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan dalam PP 46/2015 tentang JHT.
Proses revisi itu nantinya akan dilakukan dalam tiga kerangka sekaligus, yaitu menjalankan amanat UU SJSN, mendekatkan diri dengan filosofi dan tujuan program JHT, serta mempertimbangkan keadaan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Semua pihak yang berkepentingan dapat menjadi bagian dari proses ini.
Untuk saat ini, itulah yang terbaik bisa kami sampaikan. Mudah-mudahan dapat dipahami dan diterima oleh segenap rakyat sebagaimana mestinya.
Salam,
M. Hanif Dhakiri
Menteri Ketenagakerjaan RI
Comments
Post a Comment