Skip to main content

Hilangkah Uangku di JHT BPJS Ketenagakerjaan?

Berikut pernyataan Menaker Hanif Dhakiri yang saya kutip dari detikcom :

Jakarta - Menaker Hanif Dhakiri memberi penjelasan soal iuran Jamsostek kini menjadi jaminan hari tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan baru bisa diambil penuh di usia 56 tahun. Menurut dia itu semua dilakukan untuk kebaikan masyarakat.

“Nggak ada pemerintah yang merugikan masyarakat. Ini kan hanya soal cara ngatur. Kan ini karena orang itu maunya bisa diambil hari ini. Misalnya saya ambil analogi, THR harus dibayar 2 bulan sebelumnya. Ini analogi, tapi saya juga mikir kalau THR  dibayar 2 bulan sebelumnya, kira-kira apa yang akan terjadi, habis toh. Nah itu loh,” jelas Hanif di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (2/7/2015).

Menurut Hanif, karena alasan itu, pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal terkait soal itu. Dalam konteks jaminan sosial ini harus dipastikan semua proses kerja itu terlindungi.

“Saat mereka kerja ada kecelakaan kerja, saat mereka tua ada jaminan hari tua, saat pensiun ada jaminan pensiun, begitu juga ada jaminan kematian. Ini peruntukannya beda-beda, mekanismenya juga beda-beda. Kalau mereka ada kena PHK kan ada mekanisme pesangon. Ini yang harus dipahami bersama, mungkin karena ini baru, jadi seolah ada yang gimana gitulah,” urai dia.

Hanif juga menegaskan, bila seorang pekerja berhenti kerja sebelum 10 tahun kerja, sebenarnya tetap harus membayar.

“Ya nggak bisa dong, dia harus iuran 10 tahun dulu. Ini kan tabungan wajib, ini sifatnya wajib, karena merupakan jaminan sosial yang sifatnya wajib yang fungsinya untuk perlindungan. Justru saat kita sudah tua. Kalau misalnya saat tua nanti nggak bisa apa-apa, siapa yang mau cover. Kan anda bicara hari ini. Ya kalau usaha Anda berhasil, kalau nggak, terus nanti gimana?” jelas dia.

Kemudian, Hanif melanjutkan, uang BPJS Ketenagakerjaan tidak seperti yang dulu bisa dicairkan, tetapi mulai 1 Juli hanya bisa dicairkan saat usia pekerja 56 tahun.

“Itu nanti masih bisa diambil. Jadi bisa ambil saat dia 56 tahun. Itu bedanya, tapi kalau dia sudah 10 tahun masih iuran, dia bisa ambil 10% untuk apa saja, 30% untuk perumahan. Tapi nggak boleh double nih. Kalau mau full saat 56 tahun,” tutup dia.
(jor/dra)


Saya kutip pernyataan Menaker Hanif Dhakiri lainnya dari detikcom :

Jakarta -Perubahan aturan soal pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) jadi perbincangan di masyarakat. Dalam aturan baru tersebut, dana JHT baru bisa cair 100% setelah peserta berumur 56 tahun.

Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dakhiri hari ini melaporkan, perubahan aturan baru tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta Pusat.

"
Nah, program itu begini, karena fungsi dasar itu kan sebenarnya kan perlindungan bagi para pekerja kita yang tidak lagi produktif. Baik karena cacat tetap, baik karena meninggal dunia atau karena memasuki usia tua. itu fungsi dasar dari JHT itu," katanya ditemui di Istana Negara, Jakarta, Kamis (2/7/2015).

Sehingga, kata dia, jika ada pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak bisa mengandalkan JHT, tapi harus memanfaatkan pesangon.

"Jadi kalau misalnya ada orang kena PHK, dia tidak masuk skim JHT. Skimnya pasti di pesangon. Jadi memang beda-beda namanya jaminan sosial," ujarnya.

Saat ini ada beberapa program sosial yang ditujukan untuk perlindungan sosial dengan tujuan yang berbeda-beda.
Nah, JHT ini kata Hanif, khusus untuk perlindungan di hari tua, bukan PHK atau yang lain-lain.

"
Nah itu sebenarnya yang harus disosialisasikan. Saya nggak tahu masalahnya di mana, tapi mungkin lebih karena sosialisasi yang belum jalan. Kalau memang faktornya itu, ya barangkali mungkin nanti kita coba akan lapor ke Bapak Presiden dulu untuk bisa memberikan semacam masa transisi lah, untuk sosialisasi," ungkapnya.


Heboh masalah peraturan baru Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan terus berlanjut. Pada tanggal 29 Juni 2015, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT. Peraturan tersebut harus dijalankan pada tanggal 1 Juli 2015. Ironis, hanya selang satu hari, peraturan yang baru disahkan sudah harus dijalankan. Itu sebabnya tidak mengherankan kejadian ini jadi menghebohkan, apalagi peraturannya yang dianggap merugikan masyarakat yang terdaftar dalam BPJS ketenagakerjaan. Sama sekali tidak ada sosialisasi sebelumnya. Kalaupun ada, itu hanya akal-akalan saja, karena tidak mungkin melakukan sosialisasi hanya dalam semalam.

Seorang Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan tentang sosialisasi :

"Nah itu sebenarnya yang harus disosialisasikan. Saya nggak tahu masalahnya di mana, tapi mungkin lebih karena sosialisasi yang belum jalan. Kalau memang faktornya itu, ya barangkali mungkin nanti kita coba akan lapor ke Bapak Presiden dulu untuk bisa memberikan semacam masa transisi lah, untuk sosialisasi," ungkapnya.

Saya tidak tahu apakah Menaker Hanif Dhakiri sudah sempat berpikir atau belum mengenai masalah sosialisasi ini. Tidak usah dikatakan “mungkin lebih karena sosialisasi yang belum jalan”, karena memang tidak mungkin dijalankan sosialisasi dalam waktu semalam.

Banyak yang merasa dan menganggap peraturan baru BPJS ketenagakerjaan merugikan masyarakat. Bagi masyarakat yang berhenti bekerja dan ingin membuat usaha sendiri, sudah membuat perhitungan mengambil salah satu sumber modalnya melalui dana BPJS ini. Peraturan yang lama Dana BPJS Ketenagakerjaan bisa di cairkan dalam jangka waktu 5 tahun 1 bulan keanggotaan. Sayangnya karena tidak tahu mengenai kemunculan peraturan baru yang tiba-tiba ini, banyak yang merasa terjebak karena tidak bisa mengambil dananya dan harus menunggu usia 56 tahun. Bagi mereka dan saya sendiri, uang yang disetorkan setiap bulannya adalah uang kami pribadi, hasil keringat kami sendiri. Kami dengan rela mempercayakan menyimpannya kepada pemerintah dengan percaya bahwa setelah setidaknya 5 tahun 1 bulan bisa dicairkan seluruhnya, tapi mengapa ketika kami membutuhkannya sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan sebelumnya, tiba-tiba dana tersebut tidak bisa kami tarik dengan alasan peraturan baru yang tanpa sosialisasi dan tanpa masa transisi.

Selain tanpa sosialisasi dan masa transisi, peraturan yang merugikan adalah pencairan yang hanya sebesar 10 persen setelah terdaftar keanggotaan selama 10 tahun, dan maksimal 30 persen untuk pembiayaan rumah. Sedangkan jika ingin mencairkan secara penuh maka harus menunggu usia 56 tahun.

Saat mereka kerja ada kecelakaan kerja, saat mereka tua ada jaminan hari tua, saat pensiun ada jaminan pensiun, begitu juga ada jaminan kematian. Ini peruntukannya beda-beda, mekanismenya juga beda-beda. Kalau mereka ada kena PHK kan ada mekanisme pesangon. Ini yang harus dipahami bersama, mungkin karena ini baru, jadi seolah ada yang gimana gitulah,” urai dia.

Salah satu alasan konyol yang dikemukakan oleh Menaker adalah masalah mereka yang di PHK. Menaker selalu memberikan pernyataan tentang PHK alias di pecat, yang mendapatkan pesangon. Menaker sama sekali tidak menyatakan tentang karyawan kontrak yang habis masa kontraknya dan tidak diperpanjang lagi atau orang-orang yang berhenti bekerja (mungkin saya yang belum mendapatkan informasinya). Okelah saya setuju dengan pernyataan Menaker Hanif Dhakiri tentang “Saat mereka kerja ada kecelakaan kerja, saat mereka tua ada jaminan hari tua, saat pensiun ada jaminan pensiun, begitu juga ada jaminan kematian. Ini peruntukannya beda-beda, mekanismenya juga beda-beda.”, tapi tentang mereka yang hanya karyawan kontrak dan tidak diperpanjang kontraknya, darimana mereka mendapatkan pesangon. Apakah seorang Menaker tidak menyadari dan tidak mengetahui tentang peraturan ketenagakerjaan? Karyawan yang habis masa kontrak tidak akan mendapatkan apa-apa atau hanya mendapatkan kecil sekali dari perusahaan tempat ia bekerja.

Tidak sadarkah Menaker dan pemerintah, bahwa yang dipecat sekalipun, banyak perusahaan yang memaksa karyawan yang akan dipecatnya untuk membuat surat pengunduran diri, karena perusahaan tidak mau membayar pesangon. Jangan mempersalahkan karyawan yang tidak berani menuntut perusahaannya, karena mereka tidak mengerti hukum, bahkan tidak tahu peraturan ketenagakerjaan, tidak tahu hak-haknya. Apakah Menaker tahu, banyak perusahaan yang tidak memberikan peraturan tentang hak-hak tenaga kerja kepada karyawannya. Biasanya orang yang mencari kerja hanya ingin mendapatkan pekerjaan agar bisa hidup dengan layak, itu sebabnya mereka hanya berharap di terima dahulu bekerja tanpa memikirkan peraturannya, kecuali mereka yang sudah berpengalaman kerja.

Hal konyol lainnya dari pernyataan Menaker Hanif Dhakiri adalah :

Hanif juga menegaskan, bila seorang pekerja berhenti kerja sebelum 10 tahun kerja, sebenarnya tetap harus membayar.

“Ya nggak bisa dong, dia harus iuran 10 tahun dulu. Ini kan tabungan wajib, ini sifatnya wajib, karena merupakan jaminan sosial yang sifatnya wajib yang fungsinya untuk perlindungan. Justru saat kita sudah tua. Kalau misalnya saat tua nanti nggak bisa apa-apa, siapa yang mau cover. Kan anda bicara hari ini. Ya kalau usaha Anda berhasil, kalau nggak, terus nanti gimana?” jelas dia.

Jika anda sudah berhenti kerja atau di pecat, maka anda tetap harus membayar iuran BPJS anda sampai masa 10 tahun kerja karena ini sifatnya wajib. Saya tidak tahu apa yang ada dipikiran Menaker, apakah orang yang sudah tidak bekerja lagi harus dipaksa terus membayar iuran. Kalau ia pindah kerja, itu tidak ada masalah, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak bekerja atau tidak mendapatkan pekerjaan lagi? Harus dipaksa juga? Apakah alasan mendapatkan pesangon akan digunakan lagi oleh Menaker? “Dia kan dapat pesangon dari tempat kerjanya pada waktu di PHK, uang itu bisa dipakai untuk membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan sampai masa 10 tahun”, mungkin seperti ini pernyataan Menaker yang berikutnya nanti.

Seorang karyawan kontrak, umumnya bergaji lebih kecil daripada karyawan tetap. Baru bekerja 2 tahun jatuh sakit dan tidak dapat bekerja dengan baik lagi, lalu karyawan itu dipecat dan mendapatkan pesangon. Berapa besar pesangonnya? Saya tidak tahu, tapi pasti kecil. Dari pesangon itu ia mencoba melanjutkan hidupnya. Pesangonnya kecil dan ia harus berhemat, tapi sayangnya ia tetap diwajibkan membayar iuran BPJS. Dahulu pembayaran iuran BPJS hanya mengambil sebagian kecil dari gajinya karena sebagian lagi di tanggung perusahaan, tapi sekarang ia harus membayar penuh semuanya seusai gaji terakhirnya. Entahlah, saya jadi malas menjelaskan kelanjutan kisahnya, silakan Menaker berpikir sendiri. Bukankah pembayaran iuran BPJS di hitung dari gaji, jika sudah tidak bergaji, darimana cara berhitungnya Bapak Menaker?

Pemerintah umumnya memaksakan peraturan yang sudah dibuatnya dengan alasan untuk rakyat, tapi sama sekali tidak peduli dengan rakyatnya. Anggaplah rakyat terpaksa mengikuti aturan pencairan secara penuh pada usia 56 tahun.

Karyawan yang saya ceritakan di atas baru 2 tahun bekerja sudah dipecat dan tidak bisa bekerja lagi. Ia tetap mengikuti aturan, yaitu pada usia 56 tahun akan mencairkan dana miliknya secara penuh. Salah satu syarat pencairan adalah menggunakan Surat Keterangan Berhenti Bekerja. Karyawan ini sudah memiliki surat ini dan ia tahu harus menyimpannya sampai usia 56 tahun. Sayangnya, di usianya yang ke 54 tahun, ia mengalami musibah kebanjiran. Surat Keterangan Kerjanya menjadi rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Karyawan ini bermaksud untuk meminta kembali surat pengunduran dirinya ke perusahaan tempatnya bekerja bertahun-tahun yang lalu. Sesampainya disana, perusahaan ini sudah banyak berubah, semuanya sudah berisi orang-orang baru yang masih muda, tidak ada lagi yang mengenalinya, bahkan ia di curigai, meskipun demikian, perusahaan ini mencoba membantu. Tapi sayangnya lagi, data karyawan yang sudah lebih dari 15 tahun tidak bekerja sudah dihapus, karena dianggap tidak diperlukan lagi. Bagaimana nasib uang BPJS milik karyawan ini?

Apakah Menaker dan para pembuat PP tentang BPJS memikirkan hal ini? Adakah mekanisme lain untuk pencairan BPJS Ketenagakerjaan. Bagaimana jika Surat Keterangan Berhenti Bekerja yang merupakan salah satu syarat yang diharuskan, setelah disimpan sekian tahun menjadi rusak atau hancur karena musibah yang terjadi. Apakah tanpa Surat Keterangan Berhenti Bekerja, menjadi sebuah keharusan? Jika KTP hilang, itu masih dengan mudah diganti. Jika Surat Keterangan Berhenti Bekerja hilang, sementara perusahaan sudah menghapus data karyawan yang telah berhenti kerja sekian tahun, atau perusahaan tersebut bangkrut dan sudah tutup, bagaimana dengan nasib karyawan ini? Apakah Menaker memikirkan hal ini?

Indonesia adalah negara yang banyak diisi oleh orang-orang yang senang mempersulit birokrasi, birokrasi baru bisa lancar jika ada uang. Perusahaan pemerintah adalah perusahaan dengan birokrasi yang paling senang memperumit masalah. Saya tidak yakin, jika kasus di atas terjadi, akan bisa diselesaikan, yang ada, karyawan malang tersebut hanya bisa gigit jari saja. Saya tahu, saat ini sudah banyak perbaikan birokrasi dari perusahaan-perusahaan pemerintah, namun itu belum sepenuhnya berjalan, masih banyak perusahaan pemerintah mempersulit rakyat kecil, terutama mereka yang tidak mengerti apa-apa tentang hukum.

Apakah ketika membuat dan menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT, setiap orang pemerintahan yang terlibat dalam pembuatan peraturan ini sudah memikirkan hal-hal yang saya sampaikan di atas? Ditambah lagi, saat ini banyak alasan-alasan yang dikemukan oleh karyawan yang tergabung dalam keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan untuk menolak PP No 46 ini, apakah semuanya itu sudah dipikirkan? Jika sudah saya berharap pemerintah, khususnya Menaker atau pihak BPJS bisa menjelaskan dengan lebih rinci dan secara tertulis agar bisa dibagikan kepada rakyat untuk menjadi jaminan bahwa uang mereka aman di tangan pemerintah. Semoga saja, uang saya tidak hilang di tangan pemerintah.


UPDATE :

Respon dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Bapak Muhammada Hanif  Dhakiri atas Petisi yang diajukan oleh Gilang Mahardika melalui situs Change.org
4 Jul 2015 — Kementerian Ketenagakerjaan mengucapkan terima kasih atas segala masukan, keluhan, kritik dan harapan. Semua input itu membuat Pemerintah wajib memikirkan solusi terbaik yang bisa meredakan kegelisahan berbagai pihak, meskipun tentu tidak akan sanggup memuaskan semua. 
Pertama-tama, dan yang terpenting adalah bahwa dalam menyusun kebijakan Pemerintah tidak boleh melanggar hukum. Prinsip ini absolut. Hukum/UU boleh diubah, dikurangi, ditambah, namun pada saat masih berlaku, Pemerintah terikat dan diikat olehnya.
Aturan yang memerintahkan agar Jaminan Hari Tua baru dapat diambil setelah 10 tahun mengiur (membayar iuran) adalah amanat UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN, Pasal 37 ayat 3. Jika PP (Peraturan Pemerintah) sepenuhnya disusun oleh jajaran lintas kementerian, maka UU merupakan produk politik legislatif di masa itu. Sehingga, frasa "dapat diberikan sebagian setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun" di situ adalah sesuatu yang mengikat kami untuk dibunyikan di dalam PP dan dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan pasca 1 Juli 2015. 
Sungguh sangat manusiawi rekan-rekan yang ingin mengambil tabungan JHT-nya. Baik untuk daftar sekolah anak, buka warung, modal usaha, biaya nikah atau sekedar jadi tambahan menjelang lebaran untuk menyenangkan keluarga. Karenanya, titik tengah harus dicari, keseimbangan harus ditemukan. Bagaimana mengerti kesulitan dan harapan rakyat, terutama yang bergaji pas-pasan, namun di saat yang sama, tetap dalam rel hukum. 
Di saat yang sama perlu dipahami, Pemerintah juga berupaya menjalankan apa yang telah menjadi hukum positif, serta menegakkan cita-cita pembangunan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang kuat, profesional dan akuntabel, yang pada gilirannya akan mempercepat perwujudan kesejahteraan rakyat dan perlindungan sosial para pekerja. 
Dari sudut pandang pembangunan sistem jaminan sosial nasional (SJSN), program JHT memang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja saat mereka tidak lagi produktif, menghadapi masa tua. JHT memang tabungan, tetapi bukan tabungan biasa. JHT adalah tabungan untuk masa tua, dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan di masa tua. 
Sekali lagi terima kasih atas kritik, saran, masukan dan harapannya terkait isu JHT ini. Pemerintah mendengarkan, menyerap dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, bahwa ada keadaan-keadaan tertentu yang menjeda kita dari menerapkan sistem jaminan sosial nasional secara komprehensif, khususnya program JHT. Suatu keadaan yang "memaksa" sebagian dari masyarakat kita untuk lebih berpikir tentang hari ini dan besok ketimbang memikirkan masa tua. 
Oleh karena itulah maka Bapak Presiden dengan cepat merespon dan memerintahkan saya selaku Menteri Ketenagakerjaan bersama-sama dengan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan untuk memberikan pengecualian kepada para pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja agar mereka dapat mencairkan dana JHT-nya sesegera mungkin, tanpa harus menunggu masa kepesertaan 10 tahun. 
Dengan arahan Bapak Presiden tersebut, maka revisi PP 46/2015 tentang JHT harus dilakukan. Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan dan seluruh instansi pemerintah terkait akan segera menindaklanjuti arahan Bapak Presiden dengan melakukan revisi dan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan dalam PP 46/2015 tentang JHT. 
Proses revisi itu nantinya akan dilakukan dalam tiga kerangka sekaligus, yaitu menjalankan amanat UU SJSN, mendekatkan diri dengan filosofi dan tujuan program JHT, serta mempertimbangkan keadaan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Semua pihak yang berkepentingan dapat menjadi bagian dari proses ini. 
Untuk saat ini, itulah yang terbaik bisa kami sampaikan. Mudah-mudahan dapat dipahami dan diterima oleh segenap rakyat sebagaimana mestinya. 
Salam,
M. Hanif Dhakiri
Menteri Ketenagakerjaan RI


Comments

Albee said…
harus sabar sabar ya pakai seseuatu yang disediakan pemerintah apalagi untuk bpjs kesehatan (mengehela nafas)