Pernikahan,
siapa yang tidak ingin berlangsung secara meriah. Sekali seumur hidup kata
mereka. Semua yang ingin menikah berharap ada pesta yang meriah dengan senyum
bahagia, ucapan selamat, kue pernikahan, kehadiran keluarga, teman, dan kalau
bisa disaksikan oleh seluruh dunia. Sang pria dengan gagahnya mengenakan jas
dan sang wanita tampil cantik dan elegan dengan gaun pengantinnya.
9
tahun telah berlalu dalam pernikahan kami. Saya ingin mengenang dan
menceritakan sedikit tentang pernikahan saya. Sekitar 9 tahun yang lalau, kami
sudah mempersiapkan sebuah pernikahan yang rencananya akan berlangsung pada
bulan oktober 2004. Gedung sudah di booking, jas dan baju pengantin sudah siap,
undangan pun sudah di siapkan, meskipun belum di cetak. Bimbingan pra nikah
sudah kami ikuti. Pernikahan akan diadakan di Jakarta, sedangkan orangtua saya
tinggal di lampung. Itu sebabnya orangtua dari calon istri saya yang membantu
untuk semua persiapan acara pernikahan ini.
Calon
istri saya berasal dari suku batak, sementara saya sendiri dari suku tionghoa.
Saat itu rencana pernikahan akan diadakan dalam adat batak. Itu sebabnya juga
yang lebih banyak membantu adalah orangtua calon istri saya. Sebenarnya dari
pihak orangtua calon istri saya menganggap pernikahan tidak perlu diadakan
dalam adat batak, cukup yang nasional saja, tapi justru yang menginginkan adat
batak adalah calon istri saya sendiri, mungkin karena ingin membanggakan kedua
orangtuanya.
Papi
calon istri saya menginginkan kami menikah di bulan April 2004 dengan
pernikahan nasional (tanpa adat batak), tapi karena calon istri saya yang tetap
menginginkan adat batak, sedangkan persiapannya membutuhkan lebih banyak waktu,
makanya ditetapkan bulan Oktober kami melangsungkan pernikahan.
Mengikuti
pernikahan adat batak bukanlah hal yang mudah. Banyak yang harus dilakukan,
tapi yang mengerjakan adalah papi calon istri saya sendiri. Saudara-saudara
dari pihak calon istri tidak ada yang mau membantu, padahal orang batak selalu
mengatakan saling menolong terutama dalam satu marga.
Saya
juga diajak untuk menghadiri pesta adat batak beberapa kali untuk lebih
mengenal tentang adat batak. Ada hal-hal yang dijelaskan oleh calon mertua saya
ini kepada saya, lucunya juga, dia menjelaskan hal-hal dalam adat batak yang
sebenarnya dia tidak setuju karena menurutnya bertentangan dengan Alkitab.
Meskipun calon mertua saya sangat menghormati adat batak, namun dia juga berani
mengakui adanya kesalahan dalam adat batak di lihat dari sisi Alkitab. Mungkin
itu salah satu alasan mengapa ia merasa tidak perlu kami menikah dalam adat
batak.
Saya
tidak mau membahas adat batak disini, kita lanjutkan kembali. Kesibukan yang
paling besar dilakukan oleh calon mertua saya saat itu. Calon istri saya dan
saya tidak banyak tahu tentang adat batak. Kami lebih fokus memikirkan gedung,
baju pengantin batak, undangan, dan lainnya di luar adat batak.
Kami Menikah di Rumah Sakit
Bulan
Juni 2004, sebagian berjalan dengan baik, namun untuk persiapan adat batak
masih menghadapi beberapa kendala. Tapi, masih banyak waktu hingga Oktober.
Rabu, 23 Juni 2004, tiba-tiba saya dan istri mendengar kabar mengejutkan. Papi
calon istri saya terjatuh di kamar mandi dan itu disebabkan oleh stroke. Ia
dibawa ke rumah sakit dan kondisinya cukup parah.
Seingat
saya, keesokan harinya dokter meminta tanda tangan dari pihak keluarga untuk
memasang alat bantu pernafasan di calon mertua saya, karena sakitnya yang
semakin parah. Calon istri saya yang diminta oleh maminya untuk mengambil
keputusan. Calon istri saya bingung, karena pemasangan alat ini sangat beresiko
dan tidak menjamin tingkat keberhasilannya, terutama untuk penyakit yang dialami
calon mertua saya. Akhirnya calon istri saya mengajak saya untuk menemaninya
menemui seorang dokter ahli yang cukup terkenal di sebuah rumah sakit.
Calon
istri saya mendaftar sebagai pasien dan ketika gilirannya dipanggil, istri saya
menjelaskan permasalahan papinya kepada dokter ini dan meminta pendapat
mengenai pemasangan alat bantu pernafasan tersebut. Dokter tersebut menjelaskan
akibat yang bisa ditimbulkan oleh pemasangan alat tersebut, salah satunya yaitu
paru-paru calon mertua saya bisa pecah. Suatu keputusan yang sulit. Calon istri
saya juga menanyakan kira-kira keputusan apa yang akan Dokter berikan untuk
kondisi papi calon istri saya ini. Saya tidak ingat apa jawaban dokter
tersebut. Selesai konsulatsi tersebut, dokter itu, mungkin karena merasa
kasihan, tidak meminta bayaran apapun, meskipun calon istri saya ingin
membayarnya.
Satu
keputusan yang sulit harus diambil. Jika alat tersebut tidak dipasang, bisa
mengakibatkan kehilangan nyawa papi istri saya, tapi kalaupun dipasang, dengan
kondisi penyakit calon mertua saya, itupun beresiko kematian, bahkan bisa
menyebabkan paruparu pecah. Dua-duanya beresiko kematian. Jadi mana yang harus
dipilih. Dan akhirnya calon istri saya memutuskan untuk tidak memasang alat
tersebut.
Calon
mertua saya mungkin berada antara sadar dan tidak, karena dalam kondisi koma.
Ketika diajak bicara, ia hanya bisa berespon melalui sedikit gerakan tangannya.
Saya dan calon istri saya sempat berpikir, mungkin papinya stroke karena
memikirkan pernikahan kami, khususnya adat batak yang hanya ia kerjakan sendiri
tanpa ada yang membantu. Calon istri saya bertanya kepada papinya, apa yang
papinya inginkan, apakah papinya ingin ia menunda pernikahan? Diberikan
pertanyaan seperti ini, papi istri saya menitikkan airmata. Ia tidak bisa
menjawab tapi ia menangis. Lalu calon istri saya bertanya apakah papi ingin ia
menikah? Calon istri saya meminta papinya menggerakkan tangannya jika menjawab
“iya”. Dan itulah yang terjadi. Papi calon istri saya menggerakkan tangannya.
Melalui gerakan tangannya calon istri saya bisa mengerti kalau ia ingin anaknya
menikah.
Hari
sabtu 26 Juni 2004, kondisi papi semakin kristis. Kami pun semakin bingung apa
yang harus dilakukan. Pernikahan, mungkinkah akan dilangsungkan tanpa kehadiran
papi? Calon istri saya bertanya kepada saya apakah saya mau menikah hari itu
juga sebelum papinya meninggal? Dan pernikahan hanya akan dilakukan di rumah
sakit. Satu keputusan yang juga sangat sulit untuk saya lakukan. Orangtua saya
berada di lampung, dan semuanya tidak ada persiapan apa-apa. Apa yang harus
saya lakukan?
Satu
hal yang perlu saya jelaskan disini bahwa sebenarnya orangtua saya tidak
menyetujui pernikahan kami, meskipun mereka tidak mengatakannya tapi saya tahu
dari cara mereka bicara. Seperti kebanyakan orangtua, khususnya orang Tionghoa,
mereka lebih suka jika anaknya menikah dengan suku yang sama.
Dengan
mempertimbangkan hal-hal yang telah dilakukan calon mertua saya dan kesedihan
calon istri saya untuk memenuhi keinginan terakhir papinya, akhirnya saya
mengambil keputusan untuk menikah dengannya di rumah sakit. Saya menghubungi
orangtua saya di Lampung dan saya tahu, meskipun orangtuanya mengijinkan saya
menikah, namun inipun berat bagi mereka. Kemudian kami menghubungi Gereja
memohon agar ada pendeta yang bisa melakukan pemberkatan nikah untuk kami. Dan
bersyukur saat itu ada seorang pendeta yang akan memimpin pernikahan di pagi
hari, lalu sesudah itu bersedia ke rumah sakit untuk melangsungkan pemberkatan
nikah kami.
Semua
serba mendadak. Jas pernikahan memang sudah di buat. Gaun pengantin untuk
pernikahan di Gereja juga sudah ada, namun pakaian adat calon istri saya belum
siap, hanya sebuah ulos yang sempat dibeli untuk persiapan adat batak. Tidak
ada cincin pernikahan, tidak ada undangan, tidak ada makanan, tidak ada
kemeriahan. Pihak keluarga calon istri saya menghubungi beberapa kerabat untuk mengabarkan
tentang pernikahan kami ini. Karena semua yang serba mendadak, sayapun tidak
mengenakan jas pengantin tapi hanya mengenakan baju batik seadanya, calon istri
saya mengenakan kebaya seadanya disertai dengan sebuah ulos pengantin.
Pendeta
hadir, dan bersiap melakukan pemberkatan. Karena tidak ada cincin pernikahan,
kami dipinjamkan cincin pernikahan milik calon mertua saya. Pemberkatan
berlangsung seadanya, tidak ada kotbah pendeta, tapi hanya pemberkatan.
Bersyukur ada seorang saudara yang membawakan dunkin donuts untuk dapat
dinikmati, meskipun jumlahnya terbatas, karena pernikahan kami sempat dihadiri
oleh sekitar 100 orang yang dihubungi hanya melalui telepon. Tidak ada foto
pernikahan istimewa yang kami miliki, hanya beberapa saja yang difoto oleh
seorang saudara yang membawa kamera. Tapi biarlah itu yang menjadi kenangan kami.
Jam
2 siang pendeta melakukan pemberkatan nikah untuk kami, jam 7 malam papi
meninggal dunia. Pernikahan yang seharusnya di isi dengan sukacita, tapi kami
mengisinya dengan kesedihan. Papi meninggalkan kami setelah ia mempertahankan
dirinya untuk melihat pernikahan kami. Tuhan masih memberinya kesempatan untuk
melihat anaknya menikah dihadapannya.
Tidak
ada pesta meriah didalam pernikahan kami, hanya di sebuah Rumah Sakit, kami
menikah, namun Tuhan hadir disana untuk memberkati kami.
Sekali lagi Tidak ada Pesta
Hari
berlalu, pemakaman sudah dilaksanakan. Istri saya tetap ingin melangsungkan
pesta adat batak setidaknya masih ada penghormatan untuk papi yang telah lebih
dahulu meninggalkan kami. Saudara dari pihak papi berjanji akan membantu.
Gedung yang sudah kami sewa tetap akan berlanjut. Kami pun mencoba untuk
mempersiapkan pesta adat ini dengan bantuan para saudara yang sudah berjanji
membantu kami.
Awalnya
mereka tampak seperti ingin membantu kami, tapi semakin lama semakin kelihatan
kalau mereka mempersulit kami. Kami tidak mengerti banyak tentang pesta adat
batak, dan memerlukan bantuan orang-orang yang lebih mengerti, tapi bantuan itu
tidak ada sama sekali. Kami sudah mempersiapkan desain undangan, dan akan
mempersiapkan pakaian adat pengantin. Tapi sekali lagi semua tidak berjalan.
Tidak ada orang yang menolong kami, dan akhirnya kami memutuskan tidak
mengadakan pesta adat. Uang gedung yang sudah kami bayar hilang begitu saja,
termasuk segala persiapan kami.
Tapi
pesta pernikahan adalah impian semua orang yang ingin menikah bukan? Kami sudah
melalui pemberkatan nikah dengan kesedihan dan airmata, apa salahnya kami
jikalau ingin mengadakan sebuah pesta pernikahan? Disitulah kami akhirnya
berpikir dan beralih untuk mengadakan pesta pernikahan yang biasa saja, tanpa
ada campur tangan adat.
Kami
mencari gedung pernikahan dan mendapatkan sebuah tempat yang tidak terlalu
besar tapi cukup bagus untuk mengadakan pesta pernikahan. Kamipun membooking
gedung ini untuk bulan November 2004. Segala persiapan kami alihkan kesana.
Kami mencari katering dan undangan pun kami persiapkan sebaik mungkin,
sederhana tapi menarik. Kami sudah mengeluarkan banyak uang untuk pesta adat
yang gagal, dan saat ini kami hanya mempersiapkan pesta sederhana saja, di
sebuah gedung pernikahan.
Jas
dan baju pengantin sudah siap, undanganpun sudah siap. Pesta pernikahan yang
kami impikan tidak lama lagi segera berlangsung. Tapi sekali lagi, Tuhan
menggagalkan pesta ini.
Istri
saya hamil. Yang menjadi masalah bukan karena ia hamil, tapi ia selalu mengalami
pendarahan untuk kehamilannya ini. Dokter menyarankan ia untuk beristirahat dan
tidak melakukan aktifitas apapun. Sekali lagi kami terpaksa membatalkan pesta
pernikahan dan uang kami yang tersisa kami gunakan untuk mengobati istri saya.
Desember
2004, istri saya akhirnya mengalami keguguran, janinnya yang berusia dua bulan
tidak mengalami perkembangan. Ia harus di kiret untuk mengeluarkan janin yang
sudah tidak bernyawa. Kami kehilangan semua impian kami, pesta pernikahan
bahkan anak yang kami harapkan pun diambil Tuhan kembali.
Rencana
pesta pernikahan kami sudah beberapa kali gagal, mungkin sudah sedang
mempersiapkan pesta pernikahan yang meriah suatu saat nanti sebagai perngingat
ulang tahun pernikahan kami.
Setelah
semua kejadian ini, kami tidak lagi berpikir untuk mengadakan pesta, sekalipun
keinginan dan harapan tersebut masih ada sampai hari ini. Istri saya menjadi
lebih rindu untuk memiliki anak. Setelah keguguran untuk kehamilan pertamanya,
istri saya lebih fokus untuk program memiliki anak. Sejak keguguran itupun,
istri saya mengalami gangguan pada menstruasinya. Menstruasinya menjadi tidak
teratur. Kami berkonsultasi dan memeriksakan diri dengan dokter kandungan. Dari
hasil pemeriksaan ternyata sejak di kiret untuk kehamilan pertama istri saya,
saluran indung telurnya mengalami penyumbatan, sehingga sel telur dan sperma
tidak dapat bertemu. Diperlukan pengobatan lanjutan untuk membuka saluran ini.
Saya
tidak ingat apa nama pengobatan untuk membukan saluran indung telur tersebut,
tapi saat menjalaninya, istri saya merasa kesakitan sekali, seperti orang yang
ingin melahirkan. Saluran gagal terbuka dan masih terjadi penyumbatan. Kami
mencoba untuk mencari dokter lain. Keuangan kami banyak terkuras untuk
mengobati istri saya. Tapi itu adalah kerinduan kami, dan saya tidak
mencegahnya.
Martabak dan Lilin
Satu
tahun segera berlalu dalam pernikahan kami. 26 Juni 2005, kami pun ingin
merayakan satu tahun pernikahan. Tapi kami tidak mempunyai banyak uang untuk
merayakannya bersama orang lain. Uang simpanan kami sudah habis untuk persiapan
pernikahan dan pengobatan istri saya, dan dari pihak orangtua sayapun tidak memberikan
bantuan.
Hanya
kami berdua, hari itu, tidak tahu dengan cara apa kami akan merayakannya. Makan
berdua di sebuah rumah makan pun rasanya tidak sanggup untuk kami lakukan.
Hingga menjelang malam, kami akhirnya memutuskan membeli martabak saja untuk
merayakannya. Itulah yang dapat kami beli saat itu, dan dengan sebuah lilin
bekas yang ada dirumah kami, kami memperingati satu tahun pernikahan kami.
Tidak dihadiri oleh siapapun, hanya doa yang mengiringi kami. Tapi ini adalah kenangan yang paling saya ingat.
Hari-hari
berikutnya dan seterusnya kami lebih fokus untuk program memiliki anak,
terutama istri saya yang sangat ingin memiliki anak. Ia sering minta didoakan
oleh pendeta, sering mensharingkan kerinduannya kepada teman-teman, dan selalu
memeriksakan diri ke dokter. Ketika ada uang kami memeriksakan diri ke dokter,
ketika habis, kami mengumpulkan uang kembali untuk kembali berobat. Istri saya
juga tidak mau bekerja lagi sejak kematian papinya dan ingin fokus memiliki
anak.
Tuhan pun Mengabulkan Doa Kami
Setelah
beberapa tahun berlalu istri saya belum hamil juga. Uang yang kami keluarkan
sudah begitu banyak. Sampai satu hari kami memutuskan untuk menghentikan semua
pengobatan. Saya pun mengatakan kepada istri saya “Kita stop semua pengobatan,
jika Tuhan mau memberi anak, Dia akan memberi, jika tidak itu terserah padaNya.
Kita sudah berusaha, sekarang terserah pada Tuhan.”
Dengan
sambil bercanda sayapun berkata kepada Tuhan “Tuhan, kalau Engkau tidak mau
kami memiliki anak, berikan pekerjaan kepada istriku, tapi jika Tuhan mau
memberikan anak, tidak usah memberikan pekerjaan kepada istriku”
Tidak
lama setelah mengatakan hal itu, istri saya mendapat pekerjaan, setelah lebih
dari 4 tahun tidak bekerja. Saya berpikir, mungkin Tuhan memang tidak mau
memberikan anak kepada kami. Tapi sungguh di luar dugaan, satu bulan kemudian
istri saya merasa sakit dan tidak enak badan seusai mengikuti sebuah acara
Gereja. Saat itu kami hanya berpikir hanya sakit biasa atau lebih disebabkan
gangguan menstuasi istri saya yang sudah terlambat. Kami memeriksakan diri ke
dokter kandungan untuk memastikan apakah ini disebabkan oleh menstruasi istri
saya nyang sering tidak teratur.
Sampai
di rumah sakit, istri saya menceritakan keluhannya kepada dokter kandungan.
Sambil bercanda dokter itu mengatakan istri saya hamil. Kami berdua sama sekali
tidak mempercayainya dan menganggap dokter hanya bercanda saja. Tapi ketika
dilakukan USG, ternyata memang benar istri saya hamil. Luar biasa, semua diluar
akal dan pikiran kami. Istri saya hamil. Saya masih mengingat dengan jelas
ketika dokter memperlihatkan seperti sebuah titik kecil yang berkedip di layar
monitor saat USG istri saya. Ada kebahagiaan hadir setelah sekian lama menanti.
Tuhan akhirnya menjawab doa kami.Setelah menanti 5 tahun, akhirnya kami
memiliki seorang anak dan dua tahun kemudian kami pun memiliki anak kedua.
Penutup
Pernikahan,
bukanlah akhir perjalanan dan penantian, tapi sebuah awal perjalanan baru.
Banyak peristiwa yang kami alami dalam 9 tahun pernikahan kami. Suka duka,
benci rindu, kekecewaan, kasih dan cinta, kemarahan bahkan dendam datang silih
berganti. Saya mempercayai satu hal yaitu penyertaan Tuhan dalam kehidupan
pernikahan kami.
Ada
begitu banyak perbedaan diantara kami, baik itu karakter maupun latar belakang
budaya yang mempengaruhi kehidupan pernikahan kami. Tapi setelah sekian lama
menghadapi masa-masa sulit dalam perbedaan ini, saya menyadari satu hal yaitu
saya sangat membutuhkan istri saya, meskipun terkadang saya marah dan kecewa
kepadanya, namun saya membutuhkan istri saya.
Tuhan
pun menyadarkan saya bahwa kekuatan dan penyertaan dari Tuhanlah yang membuat
pernikahan kami terus berjalan. Tuhan ada dan sejak kehadiranNya dalam
pernikahan kami yang hanya disebuah Rumah Sakit dan sejak pesta pernikahan kami
yang gagal, Tuhan mengajar kami banyak hal. Pernikahan bukanlah sebuah pesta
sesaat yang meriah dan penuh keceriaan. Pernikahan adalah penyertaan Tuhan
dalam menyatukan dua anak manusia menuju perjalanan baru yang panjang, namun
tidak pernah sekalipun Tuhan tinggalkan. Terpujilah Tuhan Yesus untuk
selamanya.
Ucapan Terima Kasih
Terima
kasih kami ucapkan kepada Pdt. Johannes Aurelius W dan Pdt. Amin Khouw (Saat
melakukan pemberkatan nikah, pdt. Amin Khouw masih seorang penginjil) yang
telah melakukan pemberkatan nikah untuk kami. Rasa terima kasih kami mungkin
tidak terucap saat itu, tapi melalui kenangan pernikahan kami yang sudah
berjalan 9 tahun ini, kami mengucapkan banyak terima kasih atas pemberkatan,
dukungan dan doanya. Tuhan Yesus memberkati.
Catatan
: Tulisan ini saya persembahkan untuk istri saya
tercinta Cecilya M. Panggabean.
Comments
Post a Comment