Pagi ini, dalam perjalanan menuju ke
kantor, saya teringat dengan seminar yang akan diadakan minggu depan.
Seminar ini mengambil tema “Unwanted Blessing”. Tema yang
menarik, menurut saya. Ketika di umumkan pertama kali di GRII Buaran,
mungkin sekitar 1 bulan lalu, saat melihat gambarnya, saya langsung
menduga, pasti membahas tentang Ayub, atau setidaknya pasti ada
tentang Ayub.
Sebagai orang Kristen, siapa yang tidak
mengenal kisah Ayub? Meskipun jarang membaca Alkitab, setidaknya
semua orang Kristen pasti pernah mendengar tentang kisah Ayub. Kisah
Ayub seolah menjadi simbol bagaimana sebuah penderitaan berat itu
bisa terjadi kepada orang-orang percaya, bahkan kepada orang yang
begitu taat kepada Tuhan.
Ayub adalah salah satu tokoh yang saya
kagumi di dalam Alkitab. Ayub seringkali dijadikan contoh bagaimana
kita harus bersabar menghadapi kesulitan dan tetap taat kepada Tuhan.
Bahkan ada juga yang lebih menonjolkan akhir kisah Ayub, bagaimana
Tuhan akan memberikan “kelimpahan” jika kita tetap taat dan setia
kepada Tuhan.
Saat pertama kali saya membaca kisah
Ayub (mungkin sudah lebih dari 20 tahun yang lalu), saya terkejut,
karena ada kata-kata yang mirip dengan kata-kata yang saya ucapkan
juga kepada Tuhan. Sebuah kalimat keluhan bagaimana Ayub mengutuki
hari kelahirannya. Ini pun pernah saya lakukan. Saya membenci hari
kelahiran saya dan mempertanyakannya kepada Tuhan, bahkan saya
meminta Tuhan mengembalikan saya ke dalam kandungan mama saya dan
jangan pernah saya dilahirkan.
Saya tidak ingat kapan pertama kali
saya membaca kisah Ayub. Saya bahkan tidak ingat apakah saya sudah
menjadi seorang Kristen atau belum. Saat itu saya membaca kisah Ayub
hanya “kebetulan” belaka, bukan sengaja dan saat itu saya tidak
tahu kisah Ayub itu seperti apa.
Saya terkejut dan benar-benar terkejut
membaca bagaimana Ayub mengutuki hari kelahirannya, karena
kata-katanya setidaknya ada kemiripan dengan keluhan saya kepada
Tuhan. Ayub menghadapi kesulitan yang begitu berat, begitu pun saya.
Itu yang muncul di kepala saya saat itu. Kami sama-sama mengalami
kesulitan, hanya saja berbeda situasi dan kondisi, tapi menurut saya
saat itu, setidaknya sama beratnya bahkan masalah saya lebih berat,
itu menurut pemikiran saya saat itu.
Itu sebabnya saya kagum ketika membaca
kisah Ayub. Wah, ternyata ada yang sama dengan saya,” pikir saya.
Sama-sama mengeluh kepada Tuhan. Saya lanjutkan membaca lagi, lalu
saya mendapatkan ayat lagi dimana Ayub meminta Tuhan menghabisi
nyawanya (Ayub 6:9). Ini pun pernah saya lakukan. “Tuhan, ambillah
nyawaku, daripada aku harus menjalani hidup seperti ini!,” Itu yang
saya katakan kepada Tuhan saat itu.
Saya tertegun membaca kisah Ayub.
Karena pernah menghadapi beban yang begitu berat dalam hidup saya
bahkan masih membekas hingga hari ini, saya merasa setidaknya bisa
sedikit merasakan apa yang dirasakan Ayub ketika menghadapi bermacam
pencobaan dan ujian itu, saya bisa memahami keluhan Ayub. Dan yang
membuat saya kagum adalah keluhan Ayub di pandangan Tuhan lebih benar
daripada perkataan teman-teman Ayub. Jadi, tidak salah jika saya
melontarkan keluhan saya kepada Tuhan bukan? Hanya saja, bedanya Ayub
dikatakan dalam segala keluhannya ia tidak berbuat dosa, sedangkan
saya, dalam keluhan saya, saya berbuat dosa.
Penderitaan, Bagaimana Mungkin Menjadi Berkat?
Saya menjalani kehidupan yang sangat
sulit bukan satu atau dua hari, bukan dalam hitungan minggu, bukan
dalam hitungan bulan, tapi bertahun-tahun. Bertahun-tahun saya
menjalani hidup yang sama sekali tidak ingin saya jalankan. Lalu
ketika saya mengenal nama Tuhan adalah Yesus dan saya juga tahu
sedikit tentang berdoa, maka saya berdoa.
Tuhan itu baik, Tuhan pasti menolong,
Tuhan itu mengasihi kita, Tuhan tidak mungkin memberikan kesulitan
kepada kita, apalagi memberi cobaan yang begitu berat. Tapi yang saya
alami begitu berat. Bertahun-tahun saya harus menanggungnya seorang
diri, bahkan orangtua saya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika
saya tahu Tuhan itu bernama Yesus, saya berdoa kepada-Nya, berdoa
memohon agar saya dilepaskan dari kesulitan saya. Tapi, tidak ada
jawaban.
Saya muak dengan hidup saya, bahkan
saya ingin sekali mati. Bersyukur saat itu, meskipun sangat ingin
mati, tapi saya takut untuk bunuh diri. Berkali-kali saya berdoa
tanpa jawaban, itu membuat saya kesal. Apakah Tuhan mendengar suara
saya, mengapa Tuhan tidak mau melepaskan saya dari penderitaan ini.
Lalu keluarlah keluhan-keluhan saya.
Saya katakan kepada Tuhan,” Saya
bukanlah penjahat, saya orang baik, hidup saya jujur, tapi mengapa
saya harus mengalami penderitaan ini? Apa dosa saya? Saya tidak minta
dilahirkan seperti ini. Tubuh saya sempurna, tapi ada cacat di dalam
diri saya. Kembalikan saya ke dalam perut ibu saya! Atau ambillah
nyawa saya saat ini!.” Kira-kira seperti itulah saya mengeluh
kepada Tuhan.
Tetap tidak ada jawaban dan masalah
saya tidak selesai. Semakin lama, saya pun marah kepada Tuhan.
Kemarahan saya kemudian berubah menjadi kebencian kepada Tuhan.
Akhirnya saya menantang Tuhan. Saya berhak dan saya berani menantang
Tuhan! Saya percaya Tuhan itu ada, tapi Tuhan adalah mahluk yang
lemah, yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan ketika saya
menantangNya pun Dia hanya diam. Tuhan yang saya tahu bernama Yesus
itu ternyata tidak peduli kepada manusia. Omong kosong kalau Tuhan
peduli. Saya menantangNya pun Dia tidak berani muncul. Mana Yesus
itu! Yesus hanyalah Tuhan yang lemah. Saat itu, saya juga berani
mengucapkan kata-kata kotor kepada Tuhan, kepada nama Yesus. Bahkan,
dalam hati saya, saya menyebut diri saya “Penghujat Tuhan nomor
satu di Dunia”. Mengapa dalam hati saya, karena saya memang tidak
pernah mengatakannya kepada orang lain, bahkan tidak ada yang tahu
kebencian saya kepada Tuhan.
Ketika penderitaan datang, sementara
kita merasa tidak melakukan kesalahan apapun, bukankah terkadang
membuat kita bingung, bahkan putus asa. Apakah benar setiap
penderitaan yang kita alami disebabkan oleh dosa? Apakah benar Tuhan
sedang menghukum kita? Saat saya menghadapi masa-masa kebencian
kepada Tuhan Yesus, saya menilai diri saya adalah orang baik, saya
tidak pernah melakukan kejahatan, tapi mengapa hidup saya harus
seperti ini? Mengapa saya harus mengalami penderitaan yang tidak
pernah saya inginkan? Kesulitan yang sudah saya terima bahkan dari
sejak kelahiran saya. Jika dari lahir, berarti bukan salah saya kan?
Seminar dengan tema Unwanted Blessing
ini menggelitik pikiran saya. Yang akan dibahas adalah tentang
penderitaan. Saya kutipkan catatan kaki yang ada di brosur seminar
ini :
Penderitaan kerap menjadi masalah dalam kehidupan beragama. Bagaimana mungkin Tuhan yang penuh kasih membiarkan adanya perang, penyakit, kesakitan dan kematian di dalam dunia. Terutama sekali jika hal ini terjadi terhadap mereka yang merasa tidak bersalah? Alangkah sulitnya menerima pernyataan,” Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia...” Konflik antara penderitaan, kebaikan Allah dan hati yang mau mengasihi Allah seakan menjadi aspek yang tidak terhindarkan. Mari kita belajar bersama untuk menemukan perspektif Alkitabiah terhadap masalah ini dan melihat iman pada tempat seharusnya.
Pembahasannya tentang penderitaan.
Tetapi penderitaan di sebutkan sebagai Blessing (Berkat). Apakah
benar penderitaan merupakan berkat? Bagaimana mungkin penderitaan
bisa menjadi berkat? Penderitaan adalah sesuatu yang tidak diinginkan
oleh manusia, tidak ada seorangpun yang mau menderita. Jadi
penderitaan itu Berkat atau malah Kutukan?
Unwanted atau “yang tidak
diinginkan”. Jadi Unwanted Blessing berarti “Berkat yang Tidak
Diinginkan”. Bukankah kita suka mendengar yang namanya Berkat? Jika
berkat mengapa tidak diinginkan? Semua manusia suka yang namanya
berkat, karena berkat pasti sesuatu yang menyenangkan.
Tapi, berkat ini adalah sebuah
penderitaan, berkat disini adalah sebuah penderitaan yang tidak
diinginkan. Tidak diinginkan tapi disebut berkat, bagaimana mungkin?
Berkat tapi berupa penderitaan, bagaimana mungkin?
Inilah yang menggelitik pikiran saya,
Tema dihadirkan seolah sebuah paradoks, dan biasanya paradoks
menimbulkan tanda tanya, karena dianggap sesuatu yang tidak mungkin.
Bersyukur kepada Tuhan saya pernah
mengalami penderitaan, kesulitan yang begitu berat, bahkan membuat
saya membenci nama Tuhan. Suatu hari, dalam kesendirian saya di
sebuah kamar, saya merenungkan hidup saya di masalalu, memikirkan
kembali semua kesulitan yang pernah saya alami. Bagaimana saya
menghadapi pergumulan yang begitu berat, hanya seorang diri. Hari
itu, tiba-tiba saya tersentak. Saya tahu saya tidak sendiri saat
menghadapi semua kesulitan itu. Dia yang saya benci dan saya hina
membuat saya sadar bahwa Ia hadir dan mendengar doa-doa saya yang
tidak dijawab-Nya. Dia mendengarkan semua hinaan dan caci maki saya
kepada-Nya. Saat saya menghadapi kesulitan hidup, Dia selalu memberi
kekuatan.
Sejak saya menyadari kehadiran Yesus
dalam masalalu saya yang kelam, perlahan-lahan Ia mengajar saya,
membuat saya menjadi kuat dan menyadari penderitaan saya adalah suatu
berkat yang tersembunyi. Saya menangis, Tuhan Yesus ternyata
mengasihi saya dengan begitu luar biasa. Seorang yang berani
menantang Tuhan, menghujat Tuhan, tapi pada akhirnya dididik oleh
Tuhan sendiri. Hingga pada suatu hari yang lain, saya berlutut berdoa
dan menangis, “Tuhan, ajarkan aku KebenaranMu”.
Seminar Unwanted Blessing
Saya sangat tertarik dengan tema ini.
Bertahun-tahun saya membaca tentang Ayub, terkadang masih menimbulkan
tanda tanya. Meskipun saya menyadari ada berkat di balik penderitaan,
namun saya juga masih seorang yang belajar dan terus mencari
kebenaran. Saya tidak ada niat untuk melakukan promosi seminar ini,
karena memang tidak pernah terpikirkan oleh saya, dan waktunya pun
hanya tinggal beberapa hari lagi, selain itu tempat juga terbatas.
Tapi bagi anda yang memiliki tanda tanya tentang penderitaan, mengapa
disebut sebagai “Berkat yang tidak inginkan”, silakan hadir. Mari
kita lihat penderitaan dari sudut pandang Alkitab. Seminar ini
Gratis, hanya saja diwajibkan mendaftar terlebih dahulu karena tempat
yang terbatas.
Apa yang saya sampaikan di atas adalah
tulisan saya pribadi, bukan isi dari seminar Unwanted Blessing yang
akan diadakan pada tanggal 28 Okober 2017 nanti. Saya juga tidak tahu
apa yang akan disampaikan dalam seminar tersebut. Saya bukan panitia
seminar dan bukan pengurus di GRII Buaran. Tema seminar ini hanya mengingatkan saya akan
masalalu saya, bagaimana saya yang pernah benci kepada Tuhan karena
penderitaan akhirnya menyadari penderitaan saya saat itu adalah
berkat Tuhan.
Bagi anda yang ingin hadir, silakan
catat dan hubungi nomor di bawah ini :
Seminar Pembinaan Kehidupan Kristen
UNWANTED BLESSING
Berkat yang tidak diinginkan
Vik. Mercy Matakupan
Sabtu, 28 Oktober 2017
Pk. 13.00 – 17.00 WIB
@ GRII Buaran
Jl. Radin Inten No.5E, Buaran, Jakarta
Timur
INFORMASI : 0821 1167 6584
Comments
Sungguh luar bisda pengalamanmu. Aku sudah 75 tahun umurku. Selsma 60 tahun aku jadi gelandangan.Karena usia 15 tahun bapak ibuku dibunuh terlibat gestapu pki. Harta kami sawah dan rumah disita. Sku hanya mengembara tak tentu arah sampai sekarang. Sekarang aku sudah tua renta tak berdaya. Kalau dulu aku bisa jual tenaga untuk dspat makan, srkarang aku jual belas kasihan dan mereka memberi ketidak pedulian. Bahkan Tuhan, Sllah, Sang Hyang Widhiwasa, atau siapapun nama pencipta alam semesta ini, tak sedikitpun peduli. Bahkan kamupun takkan peduli. Selamat untukmu yang telah menerima kebaikanNya. Aku sedang menikmati "unwsnted blessing" Haleluya.
Post a Comment