Skip to main content

Melayani Tanpa Upah


1 Korintus 9:12-18
9:12 Kalau orang lain mempunyai hak untuk mengharapkan hal itu dari pada kamu, bukankah kami mempunyai hak yang lebih besar? Tetapi kami tidak mempergunakan hak itu. Sebaliknya, kami menanggung segala sesuatu, supaya jangan kami mengadakan rintangan bagi pemberitaan Injil Kristus.
9:13 Tidak tahukah kamu, bahwa mereka yang melayani dalam tempat kudus mendapat penghidupannya dari tempat kudus itu dan bahwa mereka yang melayani mezbah, mendapat bahagian mereka dari mezbah itu?
9:14 Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu.
9:15 Tetapi aku tidak pernah mempergunakan satu pun dari hak-hak itu. Aku tidak menulis semuanya ini, supaya aku pun diperlakukan juga demikian. Sebab aku lebih suka mati dari pada ...! Sungguh, kemegahanku tidak dapat ditiadakan siapa pun juga!
9:16 Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.
9:17 Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, memang aku berhak menerima upah. Tetapi karena aku melakukannya bukan menurut kehendakku sendiri, pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku.
9:18 Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil.


Ketika membaca sebuah renungan mengenai pelayanan Paulus yang dituliskannya pada surat Korintus di atas, penulis cukup terkesima dan tersentak. Paulus memberikan sebuah contoh yang indah untuk kita teladani dalam melakukan pelayanan kita kepada Tuhan.

Seringkali kita mendengar adanya “pendeta” atau “hamba Tuhan” yang “terkenal” ketika di undang berkotbah di suatu tempat, ia menetapkan tarif minimum dan meminta bermacam fasilitas. Ini menjadi sebuah pertanyaan, sebagus apapun kotbah yang disampaikannya, ada motivasi atau ambisi pribadi yang tersimpan dibalik itu.

Tapi kita jangan hanya memandang pada seorang pelayan Tuhan yang sudah besar seperti itu. Cobalah ajukan pertanyaan ini pada diri kita sendiri. Ketika aku melayani, apakah aku sungguh-sungguh melakukannya untuk kemuliaan Tuhan atau terselip motivasi/ambisi pribadi? Tanpa sadar, seringkali kita memiliki tujuan-tujuan kepuasan pribadi saat melayani Tuhan. Mungkin kita berharap mendapatkan pujian dari orang yang melihat pelayanan kita atau mungkin kita ingin tampak sebagai seorang yang taat dan sungguh-sungguh mengasihi Tuhan.

Tidak jarang juga, sekalipun kita tidak menuntut apa-apa pada saat melayani dan “murni” itu hanya untuk Tuhan, ketika menghadapi suatu masalah, kita mulai menuntut Tuhan. Kita mulai mengungkit-ungkit pelayanan kita kepada Tuhan. Kita mungkin berkata “Tuhan, aku sudah melayani Engkau dengan sepenuh hati, tapi mengapa Engkau memberikan masalah/kesulitan kepadaku seperti ini?”

Yang menjadi pertanyaan, benarkah pelayanan yang dilakukan sebelum masalah/kesulitan itu datang benar-benar “murni” untuk Tuhan? Menurut penulis sangat mungkin sekali bahwa saat melakukan pelayanan dengan “sukacita” dan “sukarela” itu ia sedang mencoba memiutangi Tuhan, sehingga saat kesulitan itu datang, ia mulai menagih hutang kepada Tuhan, merasa pelayanan yang sudah dilakukan itu harus mendapatkan upah yaitu “jangan berikan masalah/kesulitan kepadaku”

Paulus membuang hak-haknya ketika melayani Tuhan. Ia tidak meminta upah dan ia menyatakan upahnya adalah “Bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil (1 Kor 9:18)”

Apa yang indah dari sebuah pelayanan tanpa hak yang harus diambil dan tanpa upah yang harus diterima? Pada masa pelayanan Paulus sebagai seorang pemberita Injil Kristus, terdapat ahli-ahli filsafat yang mengajar pada masa itu. Mereka adalah orang-orang profesional yang menerima bayaran dari apa yang mereka ajarkan. Ada juga pengajar-pengajar Injil yang dibayar. Tetapi Paulus berbeda, ia tidak mau menerima bayaran sedikitpun untuk menopang kehidupannya, tetapi ia justru bekerja sendiri untuk mencukupi kebutuhannya sebagi seorang pembuat kemah (Kis 18:3).

Paulus memang mengetahui bahwa seorang penginjil memiliki hak untuk mendapatkan sesuatu untuk menopang kehidupannya. Tetapi ia melepaskan segala haknya tersebut. Dengan melepaskan haknya, ia menjadi bebas dalam memberitakan Injil tanpa ada orang yang harus menghalangi dan mengungkit bahwa ia telah mebayar Paulus, sehingga merasa berhak untuk mengatur Paulus. Paulus lebih memilih kebebasannya dalam memberitakan Injil tanpa upah dan tanpa hak, karena dengan demikian ia bisa memurnikan apa yang diajarkannya hanya bagi kemuliaan Tuhan.

Memang tidak semua penginjil atau orang-orang yang melayani Tuhan harus menolak upah dan haknya, tetapi disini Paulus memberikan teladan yang sangat baik. Ketika seseorang mulai menetapkan tarif/imbalan dalam melayani Tuhan, maka itu berarti ia mulai main hitung-hitungan dengan Tuhan. Pelayanan yang seperti ini menjadi tidak murni lagi. Bersyukurlah ketika kita memang menerima upah dan hak kita, tapi jangan jadikan itu sebagai tujuan pelayanan kita dan jikalau kita tidak menerima upah dan hak kita, ingatlah bahwa upah kita adalah “Bahwa aku boleh memberitakan Injil / melayani tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil / pelayan Tuhan”

Lakukanlah pelayanan kepada Tuhan bukan dengan mengharapkan sesuatu, tetapi karena sukacita kita sebab Tuhan begitu mengasihi kita. Ia telah mengampuni dosa kita dan menyertai kita dalam setiap sukacita maupun masalah/kesulitan yang kita hadapi. Cobalah introspeksi diri kita ketika melayani Tuhan. Mintalah pengampunan dalam doa jika selama ini kita melayani Tuhan dengan mengharapkan sesuatu dari-Nya dan berdoalah setiap akan melayani Tuhan agar Tuhan memurnikan motivasi kita dalam pelayanan ini hanya bagi kemuliaan nama-Nya.

Semoga menjadi berkat.

Comments