Sejak peristiwa tuduhan penistaan agama
yang diarahkan kepada Ahok, ditambah lagi munculnya Fatwa MUI yang
mengharamkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim, istilah “Kafir”
semakin populer. Kata kafir, memang sudah sejak lama sering digunakan
oleh umat muslim untuk menyebut orang-orang yang bukan muslim. Kata
kafir sendiri bukan istilah baru dan aneh, bahkan kata ini sudah
berumur ribuan tahun, sejak kemunculan kepercayaan kepada Tuhan atau
bisa kita sebut sejak kemunculan agama. Tapi memang, kata ini lebih
banyak digunakan oleh umat Islam, dan sangat jarang atau hampir tidak
pernah terdengar disebutkan oleh umat beragama lainnya. Dan baru-baru
ini saja, kata kafir ini seolah semakin populer.
Populernya sebutan kafir sepertinya
terus mencuat, ditambah lagi saat ini, adanya cuitan dari Dwi
Estiningsih di twitter-nya yang mempermasalahkan gambar
pahlawan di uang Rupiah baru. Menurutnya, porsinya gambar pahlawan
yang dimasukkan pada mata uang Rupiah baru tidak adil, karena 11 dari
gambar pahlawan tersebut 5 diantaranya adalah pahlawan kafir.
Beberapa hari yang lalu, istri saya
bertanya kepada saya,”Apa sih sebenarnya arti kafir itu?”
Bukannya kafir itu artinya orang yang tidak percaya Tuhan?
Saya menjawab,”Kafir itu berarti
semua orang yang berada di luar agamamu, itulah kafir. Kalau tidak
percaya Tuhan itu disebut ateis.”
Mengapa saya menjawab seperti ini?
Didalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kafir diartikan dengan “Orang yang tidak percaya
kepada Allah dan rasul-Nya”. Kata Allah dan rasul-Nya, lebih
mengarah kepada agama Islam. Saya tidak tahu, apakah orang yang
mengartikan kata kafir ini kurang teliti, tapi dapat dipastikan yang
mengartikan kata ini pasti beragama Islam.
Saya tidak menyetujui arti kata kafir
di Kamus Besar Bahasa Indonesia, karena kata kafir juga terdapat di
dalam Alkitab. Itu sebabnya, sejak dulu saya selalu mengartikan kata
kafir dengan “Orang yang berada diluar agama saya.” Kata “saya”
disini ditujukan kepada orang yang menggunakan kata kafir ini. Jika
umat Kristen yang mengatakannya, maka Kafir berarti semua orang
selain Kristen. Jika umat Islam yang mengatakannya, maka Kafir
berarti semua orang selain Islam.
Salahkah umat Islam menyebut umat
beragama lainnya dengan sebutan Kafir? Saya katakan “TIDAK SALAH”.
Memang benar kalau umat Islam menggunakan kata kafir untuk menyebut
umat beragama lainnya. Umat Islam mengatakan, sebutan kafir ini ada
di Al-Quran, dan memang ditujukan untuk orang yang tidak percaya
kepada Allah dan rasul-Nya yaitu Nabi Muhammad. Bukankah orang-orang
di luar agama Islam tidak percaya kepada Allah dan Nabi Muhammad
seperti yang dipercaya oleh umat Islam? Itu sebabnya mengapa saya
katakan yang megartikan kata “kafir” di Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pasti beragama Islam.
Sayangnya yang mengartikan kata “kafir”
ini, tidak menyadari bahwa kata “kafir” juga terdapat di dalam
Alkitab sebagai kitab suci umat Kristen (Saya tidak tahu apakah kata
kafir ini ada didalam kitab suci agama lainnya). Itu sebabnya arti
kata kafir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menurut saya sebenarnya
tidak tepat, karena Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kamus untuk
Bahasa Indonesia, bukan untuk agama tertentu. Meskipun demikian, saya
tidak bisa mempersalahkan dan tetap menghormati orang-orang yang
sudah bekerja keras dalam membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia ini.
Kalau mau melihat dari sisi agama
Islam, akan lebih tepat jika mengambil pengertian dari Ensiklopedi
Islam Indonesia. Sebutan kafir
pada Ensiklopedi Islam Indonesia
diberikan kepada siapa saja yang mengingkari atau tidak
percaya kepada kerasulan nabi Muhammad atau dengan kata lain tidak
percaya bahwa agama yang diajarkan olehnya berasal dari Allah
pencipta alam. Jadi, meskipun orang Yahudi dan Kristen percaya dan
meyakini adanya Tuhan, dalam agama Islam, tetap diberi sebutan kafir,
karena mereka menolak kerasulan nabi Muhammad atau agama yang
dibawanya.
Tapi, permasalahan dalam pembahasan
saya, bukan mengenai Kamus Besar Bahasa Indonesia atau Ensiklopedi
Islam Indonesia, jadi kita abaikan saja hal itu. Permasalahannya
disini adalah semakin populernya sebutan kafir ini digunakan oleh
umat Islam untuk menyebut orang-orang non-muslim.
Mengapa seolah ada sebagian dari umat Islam saat
ini yang begitu senang menggunakan kata kafir. Seolah ada kebanggaan
dalam diri mereka bahwa merekalah yang bukan kafir, sedangkan orang
lain semuanya kafir. Saya tahu bahwa tidak semua umat Islam suka
mengumbar-umbar kata kafir ini, hanya orang-orang tertentu saja.
Sayangnya orang-orang yang sering menggunakan kata ini,
menggunakannya dalam bentuk melecehkan dan merendahkan umat beragama
lainnya. Mereka memang tidak salah menyebut kafir untuk orang-orang
di luar Islam, tapi dengan tujuan melecehkan, merendahkan dan merasa
paling berhak menyebut kafir kepada orang lain, apalagi dianggap
seolah boleh dilakukan kekerasan terhadap orang-orang “kafir”
ini, itu benar-benar menyedihkan.
Kafir di Dalam Alkitab dan Gereja
Sebab
dari puncak gunung-gunung batu aku melihat mereka, dari bukit-bukit
aku memandang mereka. Lihat, suatu bangsa yang diam
tersendiri dan tidak mau dihitung di antara bangsa-bangsa kafir.
(Bilangan 23:9)
Di dalam Alkitab, kata kafir sudah
digunakan oleh bangsa Yahudi untuk menyebut bangsa non-Yahudi.
Penyebutan kafir untuk non-Yahudi ini dalam pengertian bahwa
bangsa-bangsa lain di luar Yahudi bukan penyembah Yahweh atau
Tuhan-nya Abraham atau Tuhan dari Bapa leluhur Israel (Abraham,
Ishak, Yakub). Bangsa kafir adalah bangsa yang akan di hukum oleh
Tuhan. Bangsa kafir bukanlah bangsa pilihan Tuhan. Bangsa Yahudi
percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan. Itu sebabnya, mereka
merasa lebih unggul dari bangsa lainnya. Akibat hal ini, bangsa
Yahudi seringkali merendahkan dan melecehkan bangsa lain yang mereka
anggap kafir. Hal ini terus berlangsung hingga ke jaman perjanjian
baru.
Di jaman Kekristenan, Gereja-pun pernah
mengalami kebanggaan sebagai “umat pilihan” dan menganggap
orang-orang yang berbeda imannya sebagai “kafir”. Atas dasar
tersebut, sejarah mencatat, Gereja bahkan pernah melakukan kekerasan
dan kejahatan terhadap orang yang mereka sebut “kafir”. Pada
jaman pertengahan (Medieval), keangkuhan sebagai umat pilihan, merasa
paling beriman dan paling suci, membuat Gereja-Gereja di Eropa
melakukan penganiayaan kepada mereka yang dianggap “kafir”.
Gereja Roma bahkan melakukan kekerasan dengan luar biasa di seluruh
dunia terhadap orang-orang yang berbeda iman dengan mereka, termasuk
kepada orang-orang Kristen Protestan. Tapi di kemudian hari,
Gereja-Gereja Protestan juga melakukan hal yang sama.
Sejarah mencatat, kebanggaan terhadap
agama secara berlebihan dan memandang rendah dengan menganggap kafir
orang-orang yang berbeda imannya, sangat berbahaya. Orang-orang yang
seperti ini cenderung menggunakan kata kafir, sebagai cara untuk
melecehkan dan merendahkan orang lain. Sebutan “kafir” digunakan
dengan nada kebencian tanpa alasan yang jelas. Asal berbeda dengan
agamaku, maka dia pantas disebut kafir, pantas direndahkan, pantas
dihina.
Apa yang diajarkan Yesus
Kamu telah
mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh;
siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu:
Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum;
siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan
ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus
diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. (Matius
5:21-22)
Di Matius 5:21, Yesus mengutip tentang
hukum Taurat yang sudah dikenal oleh bangsa Israel. Namun, pada ayat
22, Yesus juga memberikan suatu pengajaran tentang kemarahan dan
perkataan terhadap saudaranya yang bisa mengakibatkan hukuman. Salah
satu yang disebutkannya adalah kata “kafir”. Kata kafir dalam
perkataan Yesus ini bukan menunjukkan bahwa Yesus sedang menyebut
orang lain sebagai “kafir”, tapi disini justru menunjukkan bahwa
Yesus tidak mau orang dengan sembarangan menyebutkan kata “kafir”
kepada orang lain. Yesus mengajarkan bukan orang yang disebut “kafir”
yang harus dihukum, tapi justru orang yang mengatakan “kafir” itu
yang harus dihukum.
Apa yang diajarkan Yesus sangat jelas.
Sebutan “kafir” bukanlah kata yang pantas untuk digunakan untuk
menyebut orang lain yang berbeda denganmu. Pengajaran Yesus adalah
tentang Kasih. Yesus tahu, orang yang suka menyebut “kafir”
adalah orang yang dipenuhi kebencian dan yang merasa diri imannya
lebih unggul, bukan orang yang memiliki Kasih. Itu sebabnya, orang
seperti ini yang justru harus dihadapkan ke Mahkamah Agama. Mengapa
Mahkamah Agama? Karena kata kafir memang berhubungan dengan masalah
agama dan keimanan.
Bagaimana Seharusnya Bersikap?
Meskipun kata “kafir” tercatat di
dalam Alkitab dan pernah digunakan secara salah pada jaman Gereja
Katolik Roma maupun Gereja Protestan, namun banyak umat Kristen saat
ini yang mengira bahwa kata “kafir” seolah hanya milik umat Islam
untuk menyebut orang lain di luar Islam.
Tidak sedikit umat Kristen yang merasa
tidak nyaman mendengar sebagian umat Islam yang menyebut mereka
kafir. Rasanya tidak enak ketika disebut sebagai kafir, bahkan cara
penyebutannya pun dengan nada kebencian. Bagaimana jika kata “kafir”
ini juga ditujukan kepada mereka yang mengatakannya?
Saya tidak pernah merasa tersinggung
dengan sebutan kafir oleh umat Islam, karena saya tahu, di kitab suci
saya pun, mereka juga seharusnya saya sebut “kafir”. Namun, saya
bersyukur Yesus yang saya percaya sebagai Tuhan tidak mengajarkan
demikian. Yesus tahu, kata kafir jika digunakan oleh pengikutnya, itu
hanya menunjukkan keangkuhan, kesombongan, merasa diri paling benar
dan merasa berhak untuk menyakiti orang lain. Itu sebabnya pengikut
Yesus tidak diajarkan bahkan tidak diperbolehkan sembarangan menyebut
kafir kepada orang lain. Yesus mengajarkan tentang KASIH. Itu yang
Yesus mau dilakukan oleh para pengikutnya. Sejarah kekristenan
mencatat, kebanggaan menyebut kata “kafir” kepada orang lain
hanya akan menjadikan kita memiliki kebencian.
Jadi, kepada pengikut Yesus dan seluruh
umat Kristen, tidak perlu merasa tersinggung dengan sebutan kafir dan
tidak perlu membalas. Kita tidak diajarkan untuk menyebutkan kafir
kepada orang lain, tapi kita diajar untuk mengasihi mereka yang
berbeda imannya dengan kita. Itulah keagungan pengajaran Yesus.
Comments
Post a Comment